Cerpen yang menghantarkan saya sebagai juara 1 di PEKSIMA kampus :)
Twisted
Friendship
Oleh
Hajar Intan Pertiwi
Setiap
manusia pasti pernah merasakan apa itu kekecewaan, sungguh sakit sekali
rasanya. Aku, Minami Permata, salah satunya. Sayangnya, akulah penyebab
kekecewaan itu. Matahari sore perlahan mulai tenggelam, awan kelabu menghiasi
atap rumah sakit. Rintik hujan perlahan turun membasahi tanah yang kering. Saat
itu kejadian duka menimpa sahabatku, Riska, mengalami kecelakan yang disebabkan
olehku. Riska, maafkan aku. Andai aku lebih memperhatikan perasaanmu.
Pertemuan
kami terjadi sekitar lima tahun yang lalu, tidak ada yang pernah menduga kapan
pertemuan akan terjadi bukan?
Agustus
20, 2011.
“Hai,
namaku Riska!”, sapanya riang.
“Hai,
aku Minami, panggil saja Nami.”
“Kamu
fakultas apa? Aku fakultas Hukum, kamu?” tanyanya riang, percakapan kecil yang
kami lakukan saat penerimaan mahasiswa baru itu selalu terngiang sampai
sekarang di otakku.
Tak
seorangpun menyangka kami akan berteman baik. Keceriaan yang selalu kurindukan,
siapa yang meyangka dia begitu ceria saat itu. Sungguh tidak ada yang menyangka
ternyata kami satu kelas. Riska Octaria adalah gadis manis yang sangat ramah.
Rambutnya yang hitam berkilau bak lukisan. Kulitnya yang bersih, seakan debupun
enggan untuk menempel. Dibandingkan denganku jelas aku tidak ada apa-apanya
haha.
“Eh
Nami, lihat deh pria ini ganteng tidak?”
“Wah
biasa aja tuh, emang siapa dia?”
“Dia
kakak kelasku sewaktu SMA, aku naksir dari dulu hehe. Tahu tidak dia sangat
baik padaku dulu. Ternyata dia masuk fakultas yang sama seperti kitaa Nam. Aku
sangat senang dapat kabar itu.”
“Wah
bagus deh, jangan nunggu lama-lama nanti ada yang ngambil lhoo..”
Aku takut berkata jujur kala itu,
pria difoto itu bernama Brian Siregar, pria keturunan batak itu sudah kukenal
terlebih dahulu bahkan sebelum Riska mengenalkannya padaku. Apa yang harus aku
lakukan? Ah santai, dia kan hanya temanku.
“Hai
gendut, jangan terlalu banyak melamun. Lihat tuh lemak sudah numpuk di pipi
bahkan kamu gak sadar.” Begitulah guyon-guyon receh yang sering dia lontarkan
untuk menghiburku.
“Enak
saja, beratku sudah turun tahu kak. Lihat saja nanti ketika aku langsing, kakak
pasti akan jatuh hati padaku.” Ucapku dengan nada guyon.
“Alah
sebelum bermimpi soal itu. Ayo lah kita lanjutkan lari sebelum program dietmu
gagal lagi.”
“Iya
pelatih kejam.” Dia hanya membalasku dengan senyum yang sangat mempesona.
Senyum yang mencuri detak jantungku. Sesak. Aku bahkan sukar untuk bernapas
saat melihat senyumnya. Tuhan, aku mencintainya. Dosakah aku, Tuhan? Lelaki yang
terlihat sempurna di setiap sisinya.
Saat itu aku berpikir semoga saja
perasaan ini hanya sementara, dan aku selalu berdoa agar Tuhan menghukumku atas
perasaan yang salah ini. Aku tidak mungkin mengkhianati Riska, teman pertama
yang membuka jendela di hatiku yang gelap. Berkat Riska pula aku bergabung
dengan organisasi kampus, dia yang mendukungku agar tidak menyerah dengan
mimpiku. Dan di organisasi ini aku bertemu dengannya, orang yang memperluas
duniaku. Aku seolah bertemu dengan dunia baru disini. Kak Brian, orang yang
tidak bisa kuabaikan. Senyum hangatnya mengingatkanku dengan sosok ayah yang
lama hilang.
Aku, Minami Permata adalah gadis
berkacamata dan bertubuh tambun. Aku bukanlah gadis yang bisa mengutarakan
segala perasaan yang aku rasakan. Ayahku meninggal saat aku berusia sepuluh
tahun, saat itu ayah mengalami kecelakaan kerja di tempat ia bekerja. Tulang
punggung satu-satunya di keluarga kami telah hilang. Ayah yang selalu
mengajakku bermain seusai ia bekerja telah tiada.
Januari
31, 2003
“Kembalikan
suamiku, jahat sekali perusahaan kalian. Tega-teganya merampas nyawa suamiku.”
“Maaf
bu, sebenarnya ini juga bukan seratus persen kelalaian perusahaan kami. Sudah
untung kami mau mengganti rugi kematian suami ibu.”
“Apa
kalian bilang? Untung? Kalian gila yaa? Jangan mentang-mentang kalian orang
kaya, lalu mempermainkan orang kecil seperti kami.” Air mata ibuku tak lagi
bisa dibendung, beliau teriak sembari mencrengkram erat jasad ayah. Ayah,
kenapa ayah meninggalkan kami?
“Ibu,
saya tahu perasaan ibu. Saya selaku pengacara dari perusahan tempat ibu bekerja
memohon maaf..”
Kejadian itulah yang membuatku ingin
menjadi pengacara, Cinderella dalam profesi yang legal. Riska adalah yang orang
pertama yang kuceritakan tentang kisah ini, betapa malangnya sebuah keluarga
yang tidak tahu menahu tentang hukum.
Tuhan, hukuman apa yang kau berikan
padaku?
“Hai,
Nam. Aku belakangan sering mellihatmu dengan Brian. Apa kalian dekat?”
“Hahaha,
kebetulan saja ketemu kok Ris.”
“Sejak
kapan kamu mengenalnya?”
Entah mengapa aku merasa sedang
diintrogasi, setiap jawaban yang keluar dari mulutku terasa getir. Pahit. Apa
aku layak membohongi sahabatku? Pertanyaan demi pertanyaan menusuk lebih dalam
ke dalam hatiku, sakit. Jawaban yang ku lontarkan hanyalah alasan yang menurutku
tidak masuk akal, aku takut. Riska tahu soal ini.
“Ah
lupakaan soal itu Riskarss, gimana kuis tadi pagi?”
“Hehe
susah Nam, aku belum hapal pasal-pasal tentang itu. Kamu pasti mendapat hasil
yang terbaik yak an, Nam? Sudah kuduga..” Keluhnya kecewa.
“Ya
Elah kan kita belum tahu hasilnya, ayolah semangat!”
“Nam,
kamu kurusan banget Nam. Kamu kurang makan ya?”
‘Ya
biasalah anak kos hahaha.”
“Kalau
ada apa-apa kasih tahu aku ya Nam, ingat lho. Kita ini sahabat, jangan ada
rahasia, keey? Tapi serius deh kamu turun berapa kilo?” Itulah senyum terakhir
yang aku lihat saat dia berbicara denganku. Ini adalah tahun ketigaku
bersahabat dengan Riska. Sudah tiga
tahun aku membohongi sahabatku.
“Nam..”
“Iya
Kak?”
“Sebenarnya
kamu menganggap aku apa Nam?” pertanyaan itulah yang membuatku menelan ludah.
“Maksud
Kakak?”
“Kita
kenal engga sehari-dua hari Nam.”
“Iya,
lalu?” Aku tahu maksud dari Kak Brian, tetapi hatiku tak mungkin tega
mengkhianati Riska. Aku selalu mengelak dengan alasan receh dan mengalihkan
pembicaraan. Aku merasa menjadi orang paling jahat di dunia ini.
“Apa
ini karena Riska?” Tanya Kak Brian dengan mengerutkan alisnya ketengah dahinya.
“Kakak
bicara apa kak? Nami engga ngerti hehe.”
“Kakak
tahu kok, Riska menyukaiku kan?”
“hmm”
Gumamku sembari mengangguk.
“Nam,
aku menyukaimu.” Ucapnya lirih sembari memegang tanganku. Mataku terbelalak
mendengar ucapannya, aku tak menyangka ia menyatakan secepat itu.
“Nami?
Kak Brian?” Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku.
“Ris..Riska.
Aku bisa jelasin ini semua.”
“Ada
apa ini?”
∞∞∞
Aku
tahu Nam, kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Ayolah, aku sahabatmu Nam. Jangan
biarkan seolah-olah aku mengintrogasimu, aku ini sahabatmu bukan polisi. Nam,
tolong Nam.
Wah
Nami diet ya? Kok engga ngomong sama aku sih? Apa terjadi sesuatu dengan Nami?
Apa ada masalah ya di keluarganya? Belakangan dia jarang cerita sama aku,
sedih.
“Ah
itu seperti Nami, eh tunggu dulu, bukannya itu Kak Brian ya? “ Langkah cepat
kulakukan demi menyapa mereka, tanpa kusadari jarak kami hanya tiga meter.
Entah rasa kecewa muncul di benakku, mereka berpegangan tangan.
“Ada
apa ini?” tanyaku lirih.
“Riska..
Dengarkan aku dulu ya, aku mohon.”
“Dengarkan
apanya Nam? Kamu bahkan tak pernah mengatakan secuilpun tentang kalian, aku
harus bagaimana, Ya Tuhan.”
“Kamu
tahu kan? Aku menyukai Kak Brian dari bahkan aku belum mengenalmu? Kamu bahkan
tahu bahwa Kak Brian lah orang yang menyelamatkan aku ketika aku hampir jatuh
dalam jurang kegelapan?”
“Maaf
Ris..” Airmataku tak terbendung lagi, Aku mohon Ris, jangan benci aku Ris…
“Riska,
maafkan Kakak. Kakak mencintainya Ris..”
“Hahaha
memalukan bukan? Aku dicampakan oleh orang yang kucintai, dan itu disebabkan
oleh sahabatku sendiri.” Tawanya getir. “Kalian jahat, menapa kakak baik
padaku? Mengapa Kakak memberiku harapan?” Sambungnya.
“Kakak
menganggapmu sebagai adik kakak sendiri Ris, maafkan kakak.” Kak Brian berusaha
menenangkan Riska.
“Baik
hahaha, baik kalau itu keinginan kalian. Aku berharap kamu lebih jujur padaku
Nam, aku kecewa denganmu.”
Hal yang selama ini aku takutkan terjadi,
dosa yang selama ini aku sembunyikan terkuak juga. Tuhan, tolong jangan hukum
aku.. Aku hanya punya Riska sebagai sahabat yang berharga, aku tak ingin kehilangannya
Tuhan.
“Eh
dengar tidak ? Riska pindah dari kampus ini lho.” Bisik temanku yang bernama
Mira kepada Sarah.
“Pasti
gara-gara dikhianati sahabatnya sendiri, itu tuh yang ngakunya sahabat selama
tiga tahun.”
“Teman
sendiri kok dimakan, dasar maruk!”
Pedas, pedas sekali kata-kata
mereka. Aku tahu, lambat laun rumor pasti beredar. Aku tahu, ini semua salahku.
Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai setelah ayahku pergi, tetapi aku
bahkan membiarkan sahabatku dan temanku satu-satunya meninggalkanku. Aku hanya
bisa menunduk sedih. Ini adalah benih yang aku tanam. Aku sadar betul, aku tidak
bisa memutar balikkan waktu.
“Kak,
apakah pendosa sepertiku masih layak bahagia?” Isak tangisku tak tertahankan
lagi, sudah tiga bulan berlalu tapi dosa ini selalu menghantuiku.
“Nam,
bicara apa kau, kita kan sedang mempersiapkan wisudamu. Hebat sekali pacarku
menyelesaikan sarjana hukum dalam waktu tiga tahun setengah. Dua bulan lagi
kita wisuda, jangan mikir yang aneh-aneh.” Senyumnya terus menenangkan hatiku
yang gundah.
“Tapi
Kak, gimana dengan Riska? Apa dia bisa tersenyum seperti kita? Apa dia bahagia?
Aku jahat sekali Kak.”
Setelah kepergian Riska, gelak tawa
yang selalu kami bagi bersama terasa pahit. Dua tahun berlalu sejak kejadian
itu, tidak pernah sedikitpun ku dengar tentang kabar Riska. Riska seperti
menghilang ditelan bumi, entah kemana perginya. Aku bekerja disebuah lembaga
advokasi yang terkenal di kotaku. Terus bergerak, begitulah hidup. Persahabatan
yang tak bisa kupertahankan ini, sungguh menyesakkan.
Maret
11, 2016
“Bu
Minami, sepertinya lawan klien kami yang kemaren tidak terima dengan pembelaan
ibu terhadap klien kami. Sebaiknya ibu hati-hati.”
“Baik
pak.”
“Oh
iya, perkenalkan Ibu Riska Octaria yang akan bergabung dengan lembaga kita.”
“Riska?”
“Oh
hai Nami, lama tak jumpa.” Tangan kami berjabatan. Aku merindukanmu Riska.
Hari itu sangat bahagia, aku bisa
bertemu dengan Riska lagi. Apa dia masih marah padaku? Tuhan, salahkah aku
berharap agar bisa berbaikan dengannya lagi?
“Awaasss
Nami.” Suara Riska terdengar tak jauh dua meter dari tempatku berdiri.
Tiba-tiba badanku terdorong ke sebrang jalan. Aku masih menelaah apa yang
terjadi.
“RISKAAAA
TIDAAKK!!” Ada mobil yang hendak menabrakku, dan Riskalah yang menyelamatkanku.
Aku terisak, aku menyakitinya lagi Tuhan. Ampuni aku. Tolong jangan ambil
nyawanya Tuhan. Tolong jangan.
Bunyi ambulan yang aku benci ini
terngiang dikepalaku, setelah polisi menyelidiki ternyata tabrak lari yang
dilakukan sebuah mobil pick up itu
adalah kesengajaan yang dilakukan lawan klien kami. Dan Riskalah korbannya.
“Ini
semua salahku, Riska sadarlah. Aku mohon.. aku akan membatalkan pernikahanku
dengan Kak Brian, aku mohon sadarlahh.” Gerimis yang tadinya hanya secuil
menjdi hujan yang deras. Maafkan aku Riska.
“Hai
bodoh, kau bilang apa? Kau akan menikah? Lalu kau tidak mau mengundangku?”
senyumku terurai ketika mendengar bisik suara yang kurindukan ini.
“Ris..Riska..”
“Sudahlah
lupakan masa lalu, maafkan aku juga terlalu kekanak-kanakkan. Seharusnya aku
tidak melarikan diri seperti dahulu. Sungguh bodoh aku meninggalkan sahabat
sepertimu Nam. Gara-gara seorang pria pula, pasti kau menganggapku rendah.”
“Bodoh..
kita berdua bodoh yaa hahaha.”
Disitulah kali pertama aku merasakan
tawa dan tangis secara bersamaaan, terimakasih sahabat. Terimakasih telah
menjadikanku manusia yang lebih bermakna. Terimakasih untuk tidak
meninggalkanku.
~selesai~
Hajar ini revita yg kmaren di UMK .. cerpen juga. Boleh minta kontakmu?
ReplyDeletemaaf baru buka commentmmu rev u.u
Delete