Saturday, April 23, 2016

Twisted Friendship

Cerpen yang menghantarkan saya sebagai juara 1 di PEKSIMA kampus :)
Twisted Friendship
Oleh Hajar Intan Pertiwi
           
Setiap manusia pasti pernah merasakan apa itu kekecewaan, sungguh sakit sekali rasanya. Aku, Minami Permata, salah satunya. Sayangnya, akulah penyebab kekecewaan itu. Matahari sore perlahan mulai tenggelam, awan kelabu menghiasi atap rumah sakit. Rintik hujan perlahan turun membasahi tanah yang kering. Saat itu kejadian duka menimpa sahabatku, Riska, mengalami kecelakan yang disebabkan olehku. Riska, maafkan aku. Andai aku lebih memperhatikan perasaanmu.
Pertemuan kami terjadi sekitar lima tahun yang lalu, tidak ada yang pernah menduga kapan pertemuan akan terjadi bukan?


Agustus 20, 2011.
“Hai, namaku Riska!”, sapanya riang.
“Hai, aku Minami, panggil saja Nami.”
“Kamu fakultas apa? Aku fakultas Hukum, kamu?” tanyanya riang, percakapan kecil yang kami lakukan saat penerimaan mahasiswa baru itu selalu terngiang sampai sekarang di otakku.
Tak seorangpun menyangka kami akan berteman baik. Keceriaan yang selalu kurindukan, siapa yang meyangka dia begitu ceria saat itu. Sungguh tidak ada yang menyangka ternyata kami satu kelas. Riska Octaria adalah gadis manis yang sangat ramah. Rambutnya yang hitam berkilau bak lukisan. Kulitnya yang bersih, seakan debupun enggan untuk menempel. Dibandingkan denganku jelas aku tidak ada apa-apanya haha.
“Eh Nami, lihat deh pria ini ganteng tidak?”
“Wah biasa aja tuh, emang siapa dia?”
“Dia kakak kelasku sewaktu SMA, aku naksir dari dulu hehe. Tahu tidak dia sangat baik padaku dulu. Ternyata dia masuk fakultas yang sama seperti kitaa Nam. Aku sangat senang dapat kabar itu.”
“Wah bagus deh, jangan nunggu lama-lama nanti ada yang ngambil lhoo..”
            Aku takut berkata jujur kala itu, pria difoto itu bernama Brian Siregar, pria keturunan batak itu sudah kukenal terlebih dahulu bahkan sebelum Riska mengenalkannya padaku. Apa yang harus aku lakukan? Ah santai, dia kan hanya temanku.
“Hai gendut, jangan terlalu banyak melamun. Lihat tuh lemak sudah numpuk di pipi bahkan kamu gak sadar.” Begitulah guyon-guyon receh yang sering dia lontarkan untuk menghiburku.
“Enak saja, beratku sudah turun tahu kak. Lihat saja nanti ketika aku langsing, kakak pasti akan jatuh hati padaku.” Ucapku dengan nada guyon.
“Alah sebelum bermimpi soal itu. Ayo lah kita lanjutkan lari sebelum program dietmu gagal lagi.”
“Iya pelatih kejam.” Dia hanya membalasku dengan senyum yang sangat mempesona. Senyum yang mencuri detak jantungku. Sesak. Aku bahkan sukar untuk bernapas saat melihat senyumnya. Tuhan, aku mencintainya. Dosakah aku, Tuhan? Lelaki yang terlihat sempurna di setiap sisinya.
            Saat itu aku berpikir semoga saja perasaan ini hanya sementara, dan aku selalu berdoa agar Tuhan menghukumku atas perasaan yang salah ini. Aku tidak mungkin mengkhianati Riska, teman pertama yang membuka jendela di hatiku yang gelap. Berkat Riska pula aku bergabung dengan organisasi kampus, dia yang mendukungku agar tidak menyerah dengan mimpiku. Dan di organisasi ini aku bertemu dengannya, orang yang memperluas duniaku. Aku seolah bertemu dengan dunia baru disini. Kak Brian, orang yang tidak bisa kuabaikan. Senyum hangatnya mengingatkanku dengan sosok ayah yang lama hilang.
            Aku, Minami Permata adalah gadis berkacamata dan bertubuh tambun. Aku bukanlah gadis yang bisa mengutarakan segala perasaan yang aku rasakan. Ayahku meninggal saat aku berusia sepuluh tahun, saat itu ayah mengalami kecelakaan kerja di tempat ia bekerja. Tulang punggung satu-satunya di keluarga kami telah hilang. Ayah yang selalu mengajakku bermain seusai ia bekerja telah tiada.
Januari 31, 2003
“Kembalikan suamiku, jahat sekali perusahaan kalian. Tega-teganya merampas nyawa suamiku.”
“Maaf bu, sebenarnya ini juga bukan seratus persen kelalaian perusahaan kami. Sudah untung kami mau mengganti rugi kematian suami ibu.”
“Apa kalian bilang? Untung? Kalian gila yaa? Jangan mentang-mentang kalian orang kaya, lalu mempermainkan orang kecil seperti kami.” Air mata ibuku tak lagi bisa dibendung, beliau teriak sembari mencrengkram erat jasad ayah. Ayah, kenapa ayah meninggalkan kami?
“Ibu, saya tahu perasaan ibu. Saya selaku pengacara dari perusahan tempat ibu bekerja memohon maaf..”
            Kejadian itulah yang membuatku ingin menjadi pengacara, Cinderella dalam profesi yang legal. Riska adalah yang orang pertama yang kuceritakan tentang kisah ini, betapa malangnya sebuah keluarga yang tidak tahu menahu tentang hukum.
            Tuhan, hukuman apa yang kau berikan padaku?
“Hai, Nam. Aku belakangan sering mellihatmu dengan Brian. Apa kalian dekat?”
“Hahaha, kebetulan saja ketemu kok Ris.”
“Sejak kapan kamu mengenalnya?”
            Entah mengapa aku merasa sedang diintrogasi, setiap jawaban yang keluar dari mulutku terasa getir. Pahit. Apa aku layak membohongi sahabatku? Pertanyaan demi pertanyaan menusuk lebih dalam ke dalam hatiku, sakit. Jawaban yang ku lontarkan hanyalah alasan yang menurutku tidak masuk akal, aku takut. Riska tahu soal ini.
“Ah lupakaan soal itu Riskarss, gimana kuis tadi pagi?”
“Hehe susah Nam, aku belum hapal pasal-pasal tentang itu. Kamu pasti mendapat hasil yang terbaik yak an, Nam? Sudah kuduga..” Keluhnya kecewa.
“Ya Elah kan kita belum tahu hasilnya, ayolah semangat!”
“Nam, kamu kurusan banget Nam. Kamu kurang makan ya?”
‘Ya biasalah anak kos hahaha.”
“Kalau ada apa-apa kasih tahu aku ya Nam, ingat lho. Kita ini sahabat, jangan ada rahasia, keey? Tapi serius deh kamu turun berapa kilo?” Itulah senyum terakhir yang aku lihat saat dia berbicara denganku. Ini adalah tahun ketigaku bersahabat dengan Riska. Sudah  tiga tahun aku membohongi sahabatku.
“Nam..”
“Iya Kak?”
“Sebenarnya kamu menganggap aku apa Nam?” pertanyaan itulah yang membuatku menelan ludah.
“Maksud Kakak?”
“Kita kenal engga sehari-dua hari Nam.”
“Iya, lalu?” Aku tahu maksud dari Kak Brian, tetapi hatiku tak mungkin tega mengkhianati Riska. Aku selalu mengelak dengan alasan receh dan mengalihkan pembicaraan. Aku merasa menjadi orang paling jahat di dunia ini.
“Apa ini karena Riska?” Tanya Kak Brian dengan mengerutkan alisnya ketengah dahinya.
“Kakak bicara apa kak? Nami engga ngerti hehe.”
“Kakak tahu kok, Riska menyukaiku kan?”
“hmm” Gumamku sembari mengangguk.
“Nam, aku menyukaimu.” Ucapnya lirih sembari memegang tanganku. Mataku terbelalak mendengar ucapannya, aku tak menyangka ia menyatakan secepat itu.
“Nami? Kak Brian?” Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku.
“Ris..Riska. Aku bisa jelasin ini semua.”
“Ada apa ini?”
∞∞∞
Aku tahu Nam, kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Ayolah, aku sahabatmu Nam. Jangan biarkan seolah-olah aku mengintrogasimu, aku ini sahabatmu bukan polisi. Nam, tolong Nam.
Wah Nami diet ya? Kok engga ngomong sama aku sih? Apa terjadi sesuatu dengan Nami? Apa ada masalah ya di keluarganya? Belakangan dia jarang cerita sama aku, sedih.
“Ah itu seperti Nami, eh tunggu dulu, bukannya itu Kak Brian ya? “ Langkah cepat kulakukan demi menyapa mereka, tanpa kusadari jarak kami hanya tiga meter. Entah rasa kecewa muncul di benakku, mereka berpegangan tangan.
“Ada apa ini?” tanyaku lirih.
“Riska.. Dengarkan aku dulu ya, aku mohon.”
“Dengarkan apanya Nam? Kamu bahkan tak pernah mengatakan secuilpun tentang kalian, aku harus bagaimana, Ya Tuhan.”
“Kamu tahu kan? Aku menyukai Kak Brian dari bahkan aku belum mengenalmu? Kamu bahkan tahu bahwa Kak Brian lah orang yang menyelamatkan aku ketika aku hampir jatuh dalam jurang kegelapan?”
“Maaf Ris..” Airmataku tak terbendung lagi, Aku mohon Ris, jangan benci aku Ris…
“Riska, maafkan Kakak. Kakak mencintainya Ris..”
“Hahaha memalukan bukan? Aku dicampakan oleh orang yang kucintai, dan itu disebabkan oleh sahabatku sendiri.” Tawanya getir. “Kalian jahat, menapa kakak baik padaku? Mengapa Kakak memberiku harapan?” Sambungnya.
“Kakak menganggapmu sebagai adik kakak sendiri Ris, maafkan kakak.” Kak Brian berusaha menenangkan Riska.
“Baik hahaha, baik kalau itu keinginan kalian. Aku berharap kamu lebih jujur padaku Nam, aku kecewa denganmu.”
            Hal yang selama ini aku takutkan terjadi, dosa yang selama ini aku sembunyikan terkuak juga. Tuhan, tolong jangan hukum aku.. Aku hanya punya Riska sebagai sahabat yang berharga, aku tak ingin kehilangannya Tuhan.
“Eh dengar tidak ? Riska pindah dari kampus ini lho.” Bisik temanku yang bernama Mira kepada Sarah.
“Pasti gara-gara dikhianati sahabatnya sendiri, itu tuh yang ngakunya sahabat selama tiga tahun.”
“Teman sendiri kok dimakan, dasar maruk!”
            Pedas, pedas sekali kata-kata mereka. Aku tahu, lambat laun rumor pasti beredar. Aku tahu, ini semua salahku. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai setelah ayahku pergi, tetapi aku bahkan membiarkan sahabatku dan temanku satu-satunya meninggalkanku. Aku hanya bisa menunduk sedih. Ini adalah benih yang aku tanam. Aku sadar betul, aku tidak bisa memutar balikkan waktu.
“Kak, apakah pendosa sepertiku masih layak bahagia?” Isak tangisku tak tertahankan lagi, sudah tiga bulan berlalu tapi dosa ini selalu menghantuiku.
“Nam, bicara apa kau, kita kan sedang mempersiapkan wisudamu. Hebat sekali pacarku menyelesaikan sarjana hukum dalam waktu tiga tahun setengah. Dua bulan lagi kita wisuda, jangan mikir yang aneh-aneh.” Senyumnya terus menenangkan hatiku yang gundah.
“Tapi Kak, gimana dengan Riska? Apa dia bisa tersenyum seperti kita? Apa dia bahagia? Aku jahat sekali Kak.”
            Setelah kepergian Riska, gelak tawa yang selalu kami bagi bersama terasa pahit. Dua tahun berlalu sejak kejadian itu, tidak pernah sedikitpun ku dengar tentang kabar Riska. Riska seperti menghilang ditelan bumi, entah kemana perginya. Aku bekerja disebuah lembaga advokasi yang terkenal di kotaku. Terus bergerak, begitulah hidup. Persahabatan yang tak bisa kupertahankan ini, sungguh menyesakkan.
Maret 11, 2016
“Bu Minami, sepertinya lawan klien kami yang kemaren tidak terima dengan pembelaan ibu terhadap klien kami. Sebaiknya ibu hati-hati.”
“Baik pak.”
“Oh iya, perkenalkan Ibu Riska Octaria yang akan bergabung dengan lembaga kita.”
“Riska?”
“Oh hai Nami, lama tak jumpa.” Tangan kami berjabatan. Aku merindukanmu Riska.
            Hari itu sangat bahagia, aku bisa bertemu dengan Riska lagi. Apa dia masih marah padaku? Tuhan, salahkah aku berharap agar bisa berbaikan dengannya lagi?
“Awaasss Nami.” Suara Riska terdengar tak jauh dua meter dari tempatku berdiri. Tiba-tiba badanku terdorong ke sebrang jalan. Aku masih menelaah apa yang terjadi.
“RISKAAAA TIDAAKK!!” Ada mobil yang hendak menabrakku, dan Riskalah yang menyelamatkanku. Aku terisak, aku menyakitinya lagi Tuhan. Ampuni aku. Tolong jangan ambil nyawanya Tuhan. Tolong jangan.
            Bunyi ambulan yang aku benci ini terngiang dikepalaku, setelah polisi menyelidiki ternyata tabrak lari yang dilakukan sebuah mobil pick up itu adalah kesengajaan yang dilakukan lawan klien kami. Dan Riskalah korbannya.
“Ini semua salahku, Riska sadarlah. Aku mohon.. aku akan membatalkan pernikahanku dengan Kak Brian, aku mohon sadarlahh.” Gerimis yang tadinya hanya secuil menjdi hujan yang deras. Maafkan aku Riska.
“Hai bodoh, kau bilang apa? Kau akan menikah? Lalu kau tidak mau mengundangku?” senyumku terurai ketika mendengar bisik suara yang kurindukan ini.
“Ris..Riska..”
“Sudahlah lupakan masa lalu, maafkan aku juga terlalu kekanak-kanakkan. Seharusnya aku tidak melarikan diri seperti dahulu. Sungguh bodoh aku meninggalkan sahabat sepertimu Nam. Gara-gara seorang pria pula, pasti kau menganggapku rendah.”
“Bodoh.. kita berdua bodoh yaa hahaha.”
            Disitulah kali pertama aku merasakan tawa dan tangis secara bersamaaan, terimakasih sahabat. Terimakasih telah menjadikanku manusia yang lebih bermakna. Terimakasih untuk tidak meninggalkanku.

~selesai~

2 comments:

  1. Hajar ini revita yg kmaren di UMK .. cerpen juga. Boleh minta kontakmu?

    ReplyDelete