Wednesday, June 20, 2018

Kota Seribu Mimpi

Kota Seribu Mimpi
Oleh Hajar Intan Pertiwi


Yogyakarta, Kota Seribu Mimpi. Begitulah kusebut kota yang selalu kusinggahi setiap libur sekolah. Kota yang mengubur dalam mimpi-mimpiku. Kota yang bercerita tentang cinta pertamaku. Ya. Yogyakarta. Siapa sangka aku akan melangkahkan kaki ku setelah dua tahun berlalu, tepat pada bulan April 2015 terakhir kali ku tengok kota yang adem ayem itu, ya meskipun kini keindahan tersebut penuh berisi lalu lalang kendaraan bermotor dan polusi. Bukankah Yogyakarta tetap spesial? Ya, entah sejak kapan aku bermimpi bertempat tinggal disana. Ah sudahlah.
Kini saatnya aku melihat kedepan. Ya, masih ada mimpi-mimpi indah yang menunggu diwujudkan. Penulis.
Ya, ya, ya!
            Siapa sangka Yogyakarta memberimu cerita untuk kesekian kalinya? Memberimu mimpi yang selama ini kamu idamkan. Ehem. Maksudku langkah awal menuju mimpi. Kampus Fiksi Emas. Mungkin kalian tidak mengerti apa itu Kampus Fiksi, tetapi bagi seseorang yang senang merangkai sesuatu di kepalanya menjadi sebuah tulisan pasti tahu.
”Alhamdulillah, aku mendapatkan kesempatan bertemu dengan penulis-penulis hebat.”, batinku.
            Namun, dilema muncul membawa keraguan yang nyaris memutus langkahku. Serangan pertanyaan bergelayut di benakku.
”Bagaimana mungkin aku kesana? Apa yang harus aku lakukan untuk bertemu mereka? Joko Pinurbo, Linda Christanty, dan penulis lainnya.”
Aku harus kesana.
Bagaimanapun aku harus kesana.
Aku yakin aku bisa kesana.
Sebisa mungkin aku meyakinkan diriku sendiri. Bapakku pernah berkata bahwa, satu keyakinan positif akan membawa dampak positif dibanding ribuan keraguan. Aku memutuskan fokus kepada keyakinan positifku.
Ndilalah kabar baikpun datang. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mata Kampus bersedia mensupport kami. Ibu Wiwid, Pak Har beserta rekan-rekan Mata Kampus mendukung dan memfasilitasi kami para jurnalis amatir untuk mempelajari kepenulisan, bertemu orang baru, menambah pengalaman dan manfaat yang mungkin akan kami dapatkan disana. Sungguh. Tak sabar hati ini untuk menantinya.

Tegal, 22 April 2017.
Seperti biasa sebelum keberangkatan, aku dikeroyok tugas-tugas organisasi. Pukul menunjukan pukul 20.00, masih juga berkutit di masalah organisasi. Aduh. Apa masih bisa? Masih. Aku yakin. Entah keyakinan seperti apa yang ku yakini. Sedang kondisi badanku tidak karuan.
Benar, akupun bisa berangkat. Alhamdulillah. Tak henti kubersyukur pada-Mu, Ya Allah.
Berangkat dari Tegal pukul 21.30 malam kami pun melakukan perjalanan yang cukup berliku dan kondisi jalan yang kurang bagus. Seperti yang kalian ketahui perjalanan Tegal-Yogyakarta akan terasa indah di siang hari, rindang bertebaran di tepi-tepi jalan, memancarkan aura sejuk bahkan ketika kami di dalam mobil sekalipun. Tetapi tidak hari itu, kami berangkat malam hari. Aku tak pernah sekalipun bermasalah dengan mobil, bus, travel ataupun kendaraan bermotor lainnya. Bahkan seringkali aku bepergian seorang diri ke Yogyakarta.
Entah ada apa dengan hari itu. Ah iya, kondisiku memang tidak karuan. Aku mulai merasakan isi perutku terkocok bak blender yang hendak melumatkan buah. Mual. Mual sekali rasanya. Aku harus berhenti. Aku tak tahan. Kalau begini bisa-bisa aku… Ya, tepat sekali dugaanku. Isi perutku tidak bersahabat. Bukan hanya isi perut ternyata yang berontak, suaraku hilang.
Well, at least kami sampai dengan selamat di kota seribu mimpi ini.
Ya. Yogyakarta.
Rest area pom bensin selalu menjadi tempat mewah ketika bepergian. Ya kami memutuskan istirahat disitu, pada pukul 06.00. awalnya kami bermaksud mencari Asrama yang disediakan Panitia Kampus Fiksi. Namun, apa daya belum berjodoh.

Yogyakarta, 23 April 2017.
 Pukul 07.00 kami sudah bersih-bersih dan setelah itu kami memutuskan untuk memuaskan cacing-cacing yang mulai perotes karena terabaikan. Setelah berunding kami menjatuhkan pilihan pada Sop Ayam Pak Min Klaten.
Finally, Kampus Fiksi Emas!!
Tak kupedulikan suara yang menghilang entah kemana. Aku menyebutnya “Hari Bisu”, bagaimana tidak? Bicara saja tidak bisa. Astaga!
Sudahlah. Tak perlu bertanya, catat saja! Ambil pengalaman dan ilmu mereka! Kelak kau akan bertemu mereka lagi. Yakinlah.”, perdebatan batin ini terjadi lagi. Setidaknya itulah yang memotivasiku selama berjalannya acara.
Acara yang diselenggarakan oleh Penerbit DivaPress yang berusia empat tahun, Kampus Fiksi telah membuka jendela kesempatan penulis pemula untuk berkarya.
Pembukaan acara diawali dengan sambutan yang dibawakan oleh Bapak Edy Mulyono selaku Rektor Kampus fiksi yang ternyata merupakan penulis buku. Judul ”Saya tidak boleh berbicara sejak kecil demi kebaikan-kebaikan” mengihasi sampul bukunya.
Bersama Bapak Edy Mulyono
“Kampus Fiksi Reguler ditiadakan.”, kabar tersebut terselip disambutannya yang hangat.
Lanjut pada Bapak Joko Pinurbo, atau Mas Jokpin, sapaan akrabnya. Mas Jokpin menerangkan bahwa Budhi Darma mengilhami setiap karyanya.
Bersama Joko Pinurbo
Joko Pinurbo, "Menulis itu harus menentukan tema menurut teori sastra yang justru menghambat saya. Saya mencoba melawan teori itu" #KFE2017
Jokpin mengatakan bahwa lebih baik jadi manusia biasa, tapi karyanya "gila". Daripada jadi manusia gila, tapi karyanya biasa. #KFE2017
Kata-kata tersebut mengihasi kicauan-kicauan sosial media yang kugunakan. Berkat beliau aku belajar bagaimana memposisikan diri pada orang lain membuat kita semakin bijak dalam bertindak.
Selanjutnya adalah Ibu Linda Chistanty. Menulis itu untuk peradaban, begitulah kata beliau.
            Cerpen-cerpen terpilih karya para nomine lomba cerpen #KFE2017 bisa dibeli dengan diskon 30%. Tentu saja aku tak segan membelinya.
            Bermimpilah, entah sampai kapan. Kau cukup bermimpi. Dan yakin dalam mewujudkannya.

            Untuk Mata Kampus
Yogyakarta, 23 April 2017





Tuesday, June 19, 2018

Membatu

Mungkin kau hanya mau bergerak ketika tersengat listrik saja,
kau sudah membatu.
Hatimu sedingin besi yang tertampar angin.
Apa mungkin masih ada kata rindu yang terucap dari bibirmu itu?
Tidak,
sungguh aku ragu.
Biarlah seperti ini dulu.
Akupun enggan meladeni batu yang dingin sepertimu.
Tak baik pula berucap rindu,
sungguh tidak baik.
Kirimkan saja doamu.
Siapa tau Dia menyampaikan dengan romantis.
Meluluhkan hatinya yang membatu.
Seperti sebuah buku,
kaupun mempunyai lembaran kelam dalam hidupmu.
Sungguh,
berspekulasi tanpa membaca lebih jauh hanya akan membuatmu membenci buku tersebut.
Dalam membacapun,
tanggapan orang satu dengan yang lain bisa saja berbeda.
Terkadang buku itu hanya menjadi koleksi yang tersusun rapi tanpa kau selami.
Atau bahkan hanya buku usang berdebu yang termakan oleh rayap,
karena tak kuat kau buka kembali.

Thursday, June 14, 2018

Perahu Ubay

Perahu Ubay
Karya Hajar Intan Pertiwi

Di pantai. Susmitha lari-lari kecil. Deburan ombak mengajaknya bermain. Kaki kecoklatannya terbenam di antara pasir, sesekali ombak menyapanya. Angin bersiul mengajaknya menari. Rona merah senja memantulkan sinarnya di pipi Susmitha. Tetapi wanita berkulit coklat itu masih saja tertunduk. Sesekali dia mengangkat wajahnya dan melihat senja. Ah! Butiran-butiran air mata itu mengalir lagi, di sudut matanya. Dia mengelus perutnya sembari menitikkan air mata. Ah si Jabang! Bagaimana masa depanmu nanti? 
Susmitha hilang!

Wednesday, June 13, 2018

Manusia Setengah-setengah part 2

Malam, kali ini saya akan bercerita kegundaha saya dalam mengerjakan Tugas Akhir. Saya adalah perempuan yang sangat menyukai kata-kata, anggaplah saya merupakan bagian dari kata-kata. Belajar bahasa merupakan hal yang paling menyenangkan, dari bahasa indonesia, bahasa inggris, dan bahasa jepangpun bisa saya taklukkan. Tapi aku mengalami kesulitan dalam memahami bahasa pemrograman, hahaha tentu saja itu lelucon.

Saya penulis cerpen, ya saya tidak bilang bahwa saya terkenal. Saya hanya dikenal dikalangan saya sebagai penulis cerpen, karya saya beberapa kali memenangkan lomba tingkat kampus dan tingkat provinsi, profil saya pernah sekali dimuat di Radar Tegal. Dan beberapa karya saya dimuat di Mata Kampus, yakni Majalah Kampus Politeknik Harapan Bersama. Saya merasa kurang saat mempelajari cerpen, yang tadinya hanya penulis blog, kini sudah dimuat di media cetak, dan ingin sekali membuat Kumpulan Cerpen sendiri.

Dan kembali ke bahasa pemrograman, mana ada bahasa dari lisan dan tulisan kata-kata disamakan dengan bahasa yang peling ruwet yang membuatmu pusing. Entahlah. Saya mengalami kebosanan dalam mempelajarinya. Saya tahu, saya hanya sedang setengah-setengah. Bagi pengikut blog saya, pasti kalian tahu kalau penyakit "setengah-setengah" saya muncul, pasti sangat menjengkelkan. 

Ketika seseorang berkata "payah" padaku, wajah saya seperti ditampar. Yang paling mengganggu saya adalah karena ia benar. Aku mengerjakannya setengah hati. Saya berperang melawan banyak ketakutan serta keraguan di benak saya. Apakah saya berbakat dibidang Programming? Bagaimana kalau saya buntu ditengah-tengah? Akan jadi apa saya setelah lulus nanti? Bisakah saya membahagiakan Ibu, Bapak, Mamas, dan Adek nanti? Atau saya akan tetap menjadi benalu yang terus-terusan merepotkan semua orang? Emm, tentu saja keluarga saya tidak pernah mengatakan saya benalu, tapi ya saya sendiri yang menyadari hal tersebut hahaha. Segera jelaslah bagi saya kalau saya ketakutan, ketakutan berkompetisi, ketakutan mengecewakan, ketakutan mecoba dan mungkin gagal. Dan semua ketakutan ini menghambat saya untuk mengerahkan yang terbaik.

Seperti yang tertulis buku yang tiga tahun lalu saya pelajari dan praktekkan, The 7 Habits of Highly Effective Teens karya Sean Covey, buku yang diberikan Bapak saat saya memutuskan untuk kuliah, meninggalkan Tugas Akhir saya atau menguatkan komitmen saya.
Saya baca tulisan Arnold Bennett di buku tersebut yang menggambarkan dilema saya, "Yang tragis adalah orang yang seumur hidupnya tidak pernah mengerahkan seluruh kemampuan maksimalnya."
Karena tidak pernah mengalami tragedi, saya memutuskan untuk mengerahkan kemampuan maksimal saya. Saya memutuskan untuk berhenti bersikap tanggung-tanggung. Saya tidak tahu apakah saya berpeluang untuk sidang bulan depan, tetapi kalaupun tidak, setidaknya saya sudah mencoba.
"Saya bertekad."
Saya menang dari pergumulan batin. Ini masih menjadi proses saya untuk mengerahkan kemampuan. Semoga saya bisa menyelesaikan Tugas Akhir ini tepat waktu. Aamiin.