Thursday, June 14, 2018

Perahu Ubay

Perahu Ubay
Karya Hajar Intan Pertiwi

Di pantai. Susmitha lari-lari kecil. Deburan ombak mengajaknya bermain. Kaki kecoklatannya terbenam di antara pasir, sesekali ombak menyapanya. Angin bersiul mengajaknya menari. Rona merah senja memantulkan sinarnya di pipi Susmitha. Tetapi wanita berkulit coklat itu masih saja tertunduk. Sesekali dia mengangkat wajahnya dan melihat senja. Ah! Butiran-butiran air mata itu mengalir lagi, di sudut matanya. Dia mengelus perutnya sembari menitikkan air mata. Ah si Jabang! Bagaimana masa depanmu nanti? 
Susmitha hilang!

Berita pagi ini pasti membuatnya terpukul.
Bagaimana tidak? Nasibnya terombang-ambing seperti perahu tanpa nakhoda.
Seolah manusia menyajikan makanan mewah setiap hari kepada manusia lain, bervariasi dan sangat mengenyangkan, tetapi masih banyak manusia diluar sana.. Ah tidak, diluar penggambaran yang sengaja mereka tampilkan, masih banyak masyarakat miskin. Ya, suaminya adalah nelayan di pantai utara ini. sangat sulit beradu dengan si mampu. Rupanya badai semalam tidak hanya mengguncang pantai, ia juga mengguncang Susmitha.
∞∞∞
“Mas, esok kau harus pulang cepat ya! Mitha hendak memasakkan masakan yang enak sekali.” serumu sembari merona. Sesekali kamu mengelus si Jabang dan memandangi Mas Ubay, suamimu.
“Iya Mitha.” begitu sebutan mesra Susmitha.
“Mas janji akan bawa ikan yang banyak. Agar bisa dijual di pasar untuk tujuh bulanan si Jabang.” lanjut suamimu.
Ubay dan Mitha memakan ikan hasil tangkapan dengan lahap. Kamu mengambil daging ikan di sisi satunya. Kata orang tua, jika kau nelayan maka kau tidak boleh membalikkan ikan yang sedang kau makan. Pamali. Kapalmu akan terbalik ketika berlayar nanti.
Kamu menuangkan wedang tubruk di piring kecil yang menjadi alas gelas. Kamu menyesap perlahan wedangmu dengan nikmat. Kamu dan suamimu duduk beralaskan tikar lusuh yang tiap tepinya sudah digerogoti tikus. Rumah yang bahkan tak berkeramik itu terlihat bersih dan rapi. Kamu kembali menatap Ubay. Tatapanmu sedalam harapan yang selalu kau panjatkan. Kamu yang selalu bersabar, meski kau harus mengangsur peralatan rumah tangga yang kau miliki di bank mindring. Kau pula harus tanggung menghadapi rentenir yang tak tanggung-tanggung mengancammu. Tapi, kau tetap tersenyum pada suamimu.
“Mas Ubay, mau?” kamu menawarinya wedang yang kau minum sembari mesem.
“Boleh, Dik!” senyumnya mengembang melihat tingkahmu yang menggemaskan itu.
“Dik…” lanjutnya pelan. Raut wajahnya berubah. Kerutan waktu di sudut matanya berubah tajam. Umurnya terpaut sepuluh tahun denganmu.
“Iya, Mas?” sahutmu pelan.
“Kau harus bisa mandiri, dik. Pekerjaan Mas sangat beresiko…”
Ah, kau menutup kupingmu lagi. Kau tak mau mendengarnya. Ubay pasti khawatir dengan kondisi si Jabang. Kamupun demikian. Hari ini makan enak, besok tak tahu akan makan apa. Orang-orang berkepentingan itu kadang mengirimimu sembako dan uang seratus ribu. Ya, kau bisa gunakan itu untuk menyambung hidup, bahkan membaginya untuk mengangsur mindring. Usut punya usut, Pak Rahmat, ya, nama orang itu, sedang berkampanye untuk pencalonannya di kota kecil yang mempunyai dua sudut ini. Ah, sebaiknya kau tak perlu berprasangka buruk, Mitha.
Dua sudut.
Iya, dua sudut.
Kau bisa merasakan hiruk pikuk keramaian kota semi metropolitan di pusat kota sana.
Ya, memang tak seramai Jakarta.
Tapi kau dapat merasakan polusi yang hampir mirip. Mobil-mobil dengan plat merah-putih mulai berkeliaran disana, kau bahkan dapat mencium wangi barang baru dari kejauhan. Sedangkan disini, di tempat tinggalmu berisi gubuk reot yang bisa terbang terbawa angin. Gubuk yang udara di sekelilingnya berbau ikan segar, yang kadang sangat menyengat.
Ah, tak masalah. Asal ada Ubay. Kau akan selalu bahagia, bukan?
∞∞∞
Aku menunggumu, Mas. Masih dengan perasaan yang sama setiap hari. Sudah seperti ritual yang kujalani sejak kutambatkan hatiku padamu.
Menunggu. Semalam Mas Ubay pamit. Ya, memang dia selalu pamit sebelum melaut, Mas Ubay pun menyiapkan perahu dan peralatan menangkap ikan. Gulungan ombak yang menari-nari menghempas dan tertiup menggoda. Mas Ubay bersiap melaut mendorong perahu ke bibir pantai mencoba mencari celah menembus barisan ombak yang menghadang. Saat perhau mengapung bergegas mesin perahu melaju memecah ombak. Kemungkinan ia akan pulang lusa, karena nelayan sudah tidak boleh berlayar di kawasan yang biasa ia datangi. 
Ah, aku ini orang awam. Lulus sekolah dasar saja tidak, jadi aku tidak mengerti pergolakan politik. Aku hanya paham Mas Ubay dan nelayan kecil lainnya sedang ditekan oleh si pemangku kekuasaan. Entahlah, aku tak tahu mana yang benar. Aku hanya berdoa agar suamiku selalu dilindungi oleh-Nya.
Aku tak sabar. Lusa kita akan menabung.
“Sabar, sabar, sabar ya Jabang. Lusa Bapak pulang.” gumamku renyah.
Detik demi detik kunikmati dengan sepi. Sesekali kukerjakan pekerjaan rumah tangga. Semenjak menikah kami hanya tinggal berdua. Rumah Emak hanya berjarak dua rumah dari rumah kami.
Entah mengapa hari-hariku terasa lebih berat untuk menunggunya. Lelucon macam apa ini, Emak pasti malu memiliki anak perempuan yang mudah rindu suaminya. Sudah menjadi rahasia umum jika istri nelayan itu harus kebal dengan siksa rindu.
Ya, ya, ya!
Ingat bagaimana Emak ditinggal Bapak dahulu! Merana, tetapi tetap sabar.
Ya, setidaknya itulah kiblatku kala rindu ini mengadu.
Aku teringat kenangan dengan Mas Ubay dulu, di Terminal Tirtonadi, Surakarta. Aku bukan anak kota yang biasa bepergian, aku hanya anak desa yang sempat mencari peruntungan di Kota orang.
Bangku-bangku kosong kupandangi, kabur. Aku ingat sekali wangi tubuh ini. Kutenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Usia pernikahan yang baru seumur jagung ini diuji. Air mataku mengalir dari sudut-sudut. Seakan enggan terbendung. Ya, bapak meninggal. Ibu menelpon, menyuruh kami pulang.
Kulamunkan lagi anganku. Bapak adalah sosok yang kuat, begitu tabah dalam menghadapi pasang surut perekonomian keluarga. Aku mencintainya, Tuhan.
“Sudahlah, Mitha. Jangan kau biarkan dukamu membuat Bapak gusar. Beliau sudah berbahagia.” ujar Mas Ubay menenangkanku.
Kulirik lagi terminal yang bersih itu, bangunannya terlihat berumur, tetapi menenangkan. Kurasakan tangan Mas Ubay menghapus air mata di pipiku. Hangat.
“Mengapa pemerintah tidak memberi tunjangan atau keselamatan untuk para nelayan, Mas?” dukaku mendalam, memikirkan bagaimana nasib Emak tanpa bapak.
Mas Ubay terdiam. Tak ada jaminan untuk nelayan. 
Ketika pulang ke Tegal, pikiranku berkecamuk. Akankah Mas Ubay akan meneruskan pekerjaaan Bapak? Akankah aku hidup sejahtera? Bagaimana nasib si Jabang kelak?
∞∞∞
Jenuh.
Aku bosan.
Ini sudah hari kedua.
Tak ada satupun kabar tentang Mas Ubay. Pak Joko yang juga melaut bersamanya sudah berada di rumah.
Cuaca tidak begitu bagus malam ini. Kudengar akan ada badai besar menghujani pesisir kami. Oh Tuhan, tidak lagi. Segala prasangka buruk bermunculan di benakku. Ini yang membuatku tidak ingin menjadi bojo seorang nelayan. Tidak jelas menanti kepastian pulang, tidak pula dengan kepastian uang. Semuanya tidak jelas. Bahkan nyawa suamipun bisa saja terengut kapanpun.
Dingin.
Dingin ini merasuk ke tulang rusukku. Ku tertunduk di teras rumah. Sembari memandangi hujan. Angin malam ini tidak baik untuk si Jabang. Kuputuskan untuk masuk dan beristirahat. Ya, siapa tahu Mas Ubay pulang pagi ini.
∞∞∞
“Perahu yang dikemudikan Ubay terbawa badai.” begitu yang kamu dengar.
“Bagaimana ini? Mitha pasti khawatir.” seruku pada Joko.
Ternyata kamu sedang mendengarkan dari balik pintu rumahmu.
“Mitha, Susmitha… kau disana?”
Kamu lemas. Aku bisa melihatmu tak bertenaga.
“Mak, aku ingat sekali alasan selain Mas Ubay ingin meneruskan pekerjaan Bapak.” ucapmu pelan.
“Mas Ubay bilang kalau lautan Indonesia itu sangat luas. Kalau hanya memberi makan orang asing itu percuma. Jadi, dia ingin jadi nelayan seperti Bapak…Ya, agar tidak dijajah di negeri sendiri.” ocehmu tak beraturan.
Sakit.
Ditinggalkan.
“Mitha, kau harus tegar.” Ucapku, Emakmu, sembari memelukmu erat. Pelukkan yang membuatmu semakin teriris.
∞∞∞
Susmitha menghilang. Ya, kamu menghilang. Aku tahu kemana pergimu. Kamu sangat menyukai pantai saat kecil.
“Ah!! Itu dia!” Sebagai Emaknya, tentu akulah yang mengenalkanmu dengan pantai.
Kesedihan itu tak terbendung lagi. Kuhampiri dengan langkah yang penuh hati-hati. Kulihat senja merona, tetapi tidak dengan wajahnya. Terlihat lusuh dan muram.
“Emak…Mengapa secepat itu, Mak?” Ah, kamu mulai melantur. Seperti aku terdahulu.
“Mitha, bukankah tadi kau yang berkata padaku bahwa menjadi nelayan itu pilihan suamimu?” ujarku lirih memberi pengertian.
“Iya Mak, tetapi Mitha belum siap.” Bulir-bulir air matanya kini jatuh, menyatu dengan air laut di ujung kakinya.
“Sebaiknya kau didik anak kau ini, kelak kesejahteraan nelayan akan lebih baik.”
Kamu kini mengerti banyak sekali cara menunjukkan semangat kebangsaan, tetapi bagimu menjadi nelayan seperti Bapak dan Ubay salah satunya. Tertanam dalam tanah, tenggelam dalam lautan.
Perahu Ubay menjadi saksi perjuangan keluarga kami. Perahu yang menghantarkan rezeki ke gubuk sederhana kami. Melawan kerasnya kehidupan. Bantuan pemerintah tidak tepat sasaran. Ya. Tidak tepat sasaran karena hanya nelayan berdasi atau nelayan pengusaha perikanan yang menikmati bantuan itu. Bagaimana dengan kami nelayan kecil di pinggir pesisir yang berjuang demi sesuap nasi? Kini aku dan kamu harus mandiri, Mitha. Harus.

Untukmu pejuang lautan
Tegal, 27 Maret 2018

No comments:

Post a Comment