Kota Seribu
Mimpi
Oleh Hajar Intan Pertiwi
Yogyakarta, Kota Seribu
Mimpi. Begitulah kusebut kota yang selalu kusinggahi setiap libur sekolah. Kota
yang mengubur dalam mimpi-mimpiku. Kota yang bercerita tentang cinta pertamaku.
Ya. Yogyakarta. Siapa sangka aku akan melangkahkan kaki ku setelah dua tahun
berlalu, tepat pada bulan April 2015 terakhir kali ku tengok kota yang adem ayem
itu, ya meskipun kini keindahan tersebut penuh berisi lalu lalang kendaraan
bermotor dan polusi. Bukankah Yogyakarta tetap spesial? Ya, entah sejak kapan
aku bermimpi bertempat tinggal disana. Ah sudahlah.
Kini saatnya aku
melihat kedepan. Ya, masih ada mimpi-mimpi indah yang menunggu diwujudkan.
Penulis.
Ya, ya, ya!
Siapa
sangka Yogyakarta memberimu cerita untuk kesekian kalinya? Memberimu mimpi yang
selama ini kamu idamkan. Ehem. Maksudku langkah awal menuju mimpi. Kampus Fiksi
Emas. Mungkin kalian tidak mengerti apa itu Kampus Fiksi, tetapi bagi seseorang
yang senang merangkai sesuatu di kepalanya menjadi sebuah tulisan pasti tahu.
”Alhamdulillah,
aku mendapatkan kesempatan bertemu dengan penulis-penulis hebat.”, batinku.
Namun,
dilema muncul membawa keraguan yang nyaris
memutus langkahku. Serangan pertanyaan bergelayut
di benakku.
”Bagaimana
mungkin aku kesana? Apa yang harus aku lakukan untuk bertemu mereka? Joko
Pinurbo, Linda Christanty, dan penulis lainnya.”
Aku harus kesana.
Bagaimanapun aku harus kesana.
Aku yakin aku bisa kesana.
Sebisa mungkin aku
meyakinkan diriku sendiri. Bapakku pernah berkata bahwa, satu keyakinan positif
akan membawa dampak positif dibanding ribuan keraguan. Aku memutuskan fokus
kepada keyakinan positifku.
Ndilalah
kabar baikpun datang. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mata Kampus bersedia mensupport kami. Ibu Wiwid, Pak Har beserta
rekan-rekan Mata Kampus mendukung dan memfasilitasi kami para jurnalis amatir
untuk mempelajari kepenulisan, bertemu orang baru, menambah pengalaman dan
manfaat yang mungkin akan kami dapatkan disana. Sungguh. Tak sabar hati ini
untuk menantinya.
Tegal, 22 April 2017.
Seperti biasa sebelum
keberangkatan, aku dikeroyok
tugas-tugas organisasi. Pukul menunjukan pukul 20.00, masih juga berkutit di
masalah organisasi. Aduh. Apa masih bisa? Masih. Aku yakin. Entah keyakinan
seperti apa yang ku yakini. Sedang kondisi badanku tidak karuan.
Benar, akupun bisa
berangkat. Alhamdulillah. Tak henti kubersyukur pada-Mu, Ya Allah.
Berangkat dari Tegal
pukul 21.30 malam kami pun melakukan perjalanan yang cukup berliku dan kondisi
jalan yang kurang bagus. Seperti yang kalian ketahui perjalanan
Tegal-Yogyakarta akan terasa indah di siang hari, rindang bertebaran di
tepi-tepi jalan, memancarkan aura sejuk bahkan ketika kami di dalam mobil
sekalipun. Tetapi tidak hari itu, kami berangkat malam hari. Aku tak pernah
sekalipun bermasalah dengan mobil, bus, travel ataupun kendaraan bermotor
lainnya. Bahkan seringkali aku bepergian seorang diri ke Yogyakarta.
Entah ada apa dengan
hari itu. Ah iya, kondisiku memang tidak karuan.
Aku mulai merasakan isi perutku terkocok bak blender yang hendak melumatkan
buah. Mual. Mual sekali rasanya. Aku harus berhenti. Aku tak tahan. Kalau
begini bisa-bisa aku… Ya, tepat sekali dugaanku. Isi perutku tidak bersahabat.
Bukan hanya isi perut ternyata yang berontak, suaraku hilang.
Well,
at least kami sampai dengan selamat di kota seribu mimpi ini.
Ya. Yogyakarta.
Rest
area pom bensin selalu menjadi tempat mewah ketika
bepergian. Ya kami memutuskan istirahat disitu, pada pukul 06.00. awalnya kami
bermaksud mencari Asrama yang disediakan Panitia Kampus Fiksi. Namun, apa daya belum
berjodoh.
Yogyakarta, 23 April 2017.
Pukul 07.00 kami sudah bersih-bersih dan
setelah itu kami memutuskan untuk memuaskan cacing-cacing yang mulai perotes
karena terabaikan. Setelah berunding kami menjatuhkan pilihan pada Sop Ayam Pak
Min Klaten.
Finally,
Kampus Fiksi Emas!!
Tak kupedulikan suara
yang menghilang entah kemana. Aku menyebutnya “Hari Bisu”, bagaimana tidak?
Bicara saja tidak bisa. Astaga!
“Sudahlah. Tak perlu bertanya, catat saja! Ambil pengalaman dan ilmu
mereka! Kelak kau akan bertemu mereka lagi. Yakinlah.”, perdebatan batin
ini terjadi lagi. Setidaknya itulah yang memotivasiku selama berjalannya acara.
Acara yang diselenggarakan
oleh Penerbit DivaPress yang berusia empat tahun, Kampus Fiksi telah membuka
jendela kesempatan penulis pemula untuk berkarya.
Pembukaan acara diawali
dengan sambutan yang dibawakan oleh Bapak Edy Mulyono selaku Rektor Kampus
fiksi yang ternyata merupakan penulis buku. Judul ”Saya tidak boleh berbicara
sejak kecil demi kebaikan-kebaikan” mengihasi sampul bukunya.
Bersama Bapak Edy Mulyono |
“Kampus Fiksi Reguler
ditiadakan.”, kabar tersebut terselip disambutannya yang hangat.
Lanjut pada Bapak Joko
Pinurbo, atau Mas Jokpin, sapaan akrabnya. Mas Jokpin menerangkan bahwa Budhi
Darma mengilhami setiap karyanya.
Bersama Joko Pinurbo |
Joko
Pinurbo, "Menulis itu harus menentukan tema menurut teori sastra yang
justru menghambat saya. Saya mencoba melawan teori itu" #KFE2017
Jokpin
mengatakan bahwa lebih baik jadi manusia biasa, tapi karyanya "gila".
Daripada jadi manusia gila, tapi karyanya biasa. #KFE2017
Kata-kata tersebut
mengihasi kicauan-kicauan sosial media yang kugunakan. Berkat beliau aku
belajar bagaimana memposisikan diri pada orang lain membuat kita semakin bijak
dalam bertindak.
Selanjutnya
adalah Ibu Linda Chistanty. Menulis itu untuk peradaban, begitulah kata beliau.
Cerpen-cerpen
terpilih karya para nomine lomba cerpen #KFE2017 bisa dibeli dengan diskon 30%.
Tentu saja aku tak segan membelinya.
Bermimpilah,
entah sampai kapan. Kau cukup bermimpi. Dan yakin dalam mewujudkannya.
Untuk
Mata Kampus
Yogyakarta, 23 April 2017
No comments:
Post a Comment