Selendang
Sayyida
Oleh Hajar Intan Pertiwi
Sayyida duduk termenung di pinggiran bebatuan
pesisir pantai. Ia
menatap langit. Mungkin menatap terik sang surya yang mengajaknya untuk sekadar
berenang di pinggiran pantai, mungkin pula memandangi Gunung Slamet yang berdiri dengan gagah. Kekecewaan berujung luka yang sering ia alami. Butiran-butiran air mata mengalir di sudut-sudut mata indahnya. Gelombang laut memuntahkan riak di bibir pantai. Ia membiarkan kaki halus kecokelatan tak beralas tertanam di antara pasir,
sesekali air laut menghampiri, mengajak dan merayunya untuk bermain. Selendang di lehernya menari-nari, seolah ingin dimainkan.
Termenung. Lara.
Bolehkah aku mendekat, Sayyida?
Sayyida hilang.
Itu bukan kali pertama kudengar kabar hilangnya Sayyida. Gadis itu
rupanya tidak bosan membuat laki-laki paruh baya, yang telah merawatnya sejak
kecil, khawatir.
Aku tahu, Ida sangat menyukai pantai.
Ia bahkan rela menghabiskan waktu hanya dengan berjalan kecil atau
hanya duduk di tepian pantai. Sepertinya aku bertanggung jawab dengan
menghilangnya kau kali ini.
Aku tahu mungkin, kali ini perbuatanku sudah keterlaluan. Atau
hubungan kita yang keterlaluan?
Kalau boleh kuingat senyummu yang
membuat malaikatpun jatuh hati, senyum yang mematahkan hati lelaki yang
diam-diam memendam gejolak dihatinya.
∞∞∞
Sayyida menari di antara puluhan
penonton. Ia memakai kaos dan celana panjang. Diiringi alunan gamelan yang
lincah. Kemudian Sayyida pun masuk ke dalam kurungan[1]
ayam.
Begitu dibuka, Sayyida lengkap
menggunakan pakaian khusus penari sintren[2].
Riasan wajah yang ayu dan sesuai dengan kulitnya yang kecokelatan. Eksotis.
Selendang yang digunakan untuk menari membuat jari-jarinya semakin menggoda.
Ya, ya, ya!
Sayyida adalah seorang sintren.
“Wah, tak menyangka cah wadonku[3] menjadi sintren. Lihat itu Salva,
betapa indahnya ayunan tubuhnya. “
Kudengar dentingan gamelan terus
mengalun. Pak Bandio berceloteh tentang anaknya yang kini menggeluti kesenian rakyat pantai
utara Jawa Tengah tersebut. Kesenian yang namanya
saja mungkin tidak dikenal oleh anak remaja jaman sekarang.
Menjadi sintren bukanlah hal yang mudah. Tarian magis ini banyak sekali
ritual-ritual yang harus ditempuh sang penari sebelum benar-benar layak
ditampilkan.
Keluarga Sayyida sendiri sudah
turun-temurun melakukan kesenian rakyat ini. Tahun ini genap usia Sayyida delapan belas tahun.
Kemolekan tubuhnya mengayun dengan
indah, ia telah menemukan indang[4], itulah kabar yang sering kudengar.
Terepas dari Sayyida yang mencintai sintren, ia adalah sepupuku. Gadis yang berjarak sepuluh tahun ini
sudah mengenalku selama hidupnya.
“Mas Salva, selain sintren aku juga sangat menyukai pantai”
Begitulah kata-kata yang selalu ia
ucapkan. Kubiarkan semburat merah menghiasi pipinya yang tirus. Memerah seperti
senja yang sedang kami pandangi.
Gadis kecil yang dulu menari lincah di bawah pohon kersen ini telah
tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik.
“Ida, apakah kau tidak lelah menjadi
sintren?”
Ida, begitulah sapaan yang aku
gunakan untuk memanaggilnya.
“Mas, aku sudah tiga tahun menjadi sintren, mungkin ini adalah tahun
terakhirku menggeluti kesenian ini, Mas.”
Begitu ucapnya, terlihat senyum
getir kini menghiasi wajahnya.
“Aku hanya ingin melakukan yang terbaik, Mas. Konon, Dewi Lanjar akan
mempertemukan sepasang kekasih yang cintanya terhalang restu. Bukankah itu
seperti kisah kita, Mas?”
Aku tidak menjawab, aku tak bisa melukaimu lebih jauh Ida. Aku telah
beranak dan beristri. Telah kutanamkan benih di tanah perempuan lain. Aku tak
mungkin memilikimu, Ida.
“Aku ingin Dewi Lanjar mempersatukan kita, meski aku mung[5] bisa
ketemu denganmu dengan tarian” lanjut perempuan itu.
“Kau terlihat cantik saat menari tadi” ucapku mengalihkan pembicaraan.
Pembicaraan yang salah.
Wajahnya semakin memancarkan semburat kemerahan di antara tulang pipinya
yang menonjol. Ia membiarkan angin menampar pipinya yang mulus dengan rasa
dingin.
“Mas, tidak adakah kesempatan
untukku masuk ke dalam hatimu?”
Ida menyandarkan kepalanya padaku.
Ia melebarkan telapak tangannya dan menempelkan ke dadaku. Sesak. Dadaku
tercekat. Entah apa yang harus aku lakukan, aku ingin selalu berada di dekatmu
tapi aku tak mungkin melukai Lastri. Wanita yang telah mengisi siang dan
malamku selama satu windu.
Ida, apa yang kita lakukan salah
sayang.
∞∞∞
Aku teringat kali pertama aku
dikenalkan dengannya, wanita anggun yang lahir di Surakarta itu berprofesi
membantu para ibu membantu proses kelahiran.
Ia seorang Bidan.
Ia Lastri.
Ia istriku.
Ia yang melahirkan anak perempuanku.
Ia memutuskan pindah dari kota yang sangat dicintainya demi orang yang
ia cintai, yaitu Salva Ditya, akulah orang yang menjerumuskannya dalam lubang
luka.
Lastri yang menurut orang tuaku
sederajad denganku resmi melingkarkan cincin di jari manisnya, tak lama sebulan
setelah kami bertemu.
Aku tak begitu mengenalnya, perempuan yang aku yakin setiap lelaki
normal pasti akan berbondong-bondong melamarnya.
Aku sangat rindu Sayyida.
Cah wadon yang menggunakan rok balerina
kuning yang menguning seperti bunga perdu yang berada di sampingnya.
Menari.
Terus menari.
Tak ada yang dapat mengalahkan Ida saat menari. Lekuk tubuhnya yang
seperti orang dewasa membuatku ingin memeluknya. Menenggelamkan kepalanya di
antara dadaku.
Membiarkan ia berceloteh tentang cita-citanya yang ingin menjadi
dokter. Aku akan sabar mendengarkan sembari mengelus kepalanya dengan lembut.
Itu semua hanya isapan jempol belaka.
Ida, jika dibolehkan aku hendak menjadi selendang tarimu yang kau
genggam dengan lembut di tengah lenggak-lenggok[6] gerak tubuhmu. Atau bahkan hanya
menjadi alunan gamelan yang menemanimu menari.
Aku berharap Tuhan memberikan ku
kesempatan kedua untuk memulai kehidupan bersamamu.
Harapan kosong itu legang terhempas bersama dengan perginya waktu. Aku
masih terpaku dalam penyesalan masa mudaku, masa yang ku sia-siakan bersama
orang yang tak sama sekali kucintai.
Aku selalu berusaha membuat Lastri
benci padaku, tapi percuma. Kesabaran Lastri jauh lebih besar daripada
keinginanku berpisah dengannya.
Lagi, aku membuang waktuku hanya
untuk melihat perempuan bernama Sayyida ini menari. Seusai kerja, agaknya ini
pengobat lelah yang kini menjadi candu.
Sayyida.
kalau saja tak ada silsilah yang menggabungkan garis kita sebagai
sepupu.
Kalau saja orang tuamu lebih mapan dari sekadar penabuh sintren.
Kalau saja kau dari keluarga baik-baik.
Kalau saja kau bisa lebih cepat dewasa.
Mungkin, delapan tahun yang lalu aku sudah menikahimu.
Picik sekali pemikiranku.
Ya, ya, ya!
Akulah lelaki yang tidak pantas dicintai oleh siapapun.
Bahkan oleh Lastri sekalipun.
Mukaku memerah padam. Otot-otot kaku seusai kerja tegang. Ku genggam
kepalan tanganku, aku pun dapat merasakan kuku-kuku ini hampir menembus
dagingku.
Begitu reaksiku ketika ada orang yang sengaja menyawer[7]mu,
aku ingin menampar orang itu dengan kepalan tangan yang keras.
Aku ingin mengatakan bahwa sintren
yang molek itu hanya milikku.
Milikku.
“Papa!”
Sapaan ini membuyarkan lamunanku. Suara khas anak-anak yang riang
ketika bertemu lelaki yang mengumandangkan adzan ketika ia terlepas dari
kandungan seorang ibu. Ya, anak ini tak lain adalah anakku. Matanya menyipit
jika tersenyum.
Permataku.
Malaikat kecilku.
“Papa, Matsya dapat pujian dari bu guru. Matsya pintar sekali
bercerita, Pa!” serunya kegirangan, menenteng tas sekolah yang bergambarkan
kartun kesukaannya. Dahinya yang berponi berayun-ayun berkebalikan dengan arah
tubuhnya. Manis sekali.
Tak pikir lama aku menggendongnya, kuciumi pipinya yang bulat.
Tangan-tangan kecil bidadari ini meraba-raba mukaku.
Mengusap peluh yang aku biarkan mengalir karena baru saja aku berfokus
pada Ida.
Ah perempuan sial.
Tidak.
Akulah yang pantas mendapat julukan demikian.
“Papa pasti lelah, kalau boleh memilih Matsya tidak ingin Papa kerja.
Mama Papa pasti lelah betul, bekerja agar Matsya sekolah. Tapi Matsya ingin
sekolah, Pa”
Matsya berceloteh lagi, menggemaskan sekali. Ia mengkhawatirkan
ayahnya yang bahkan tersirat dibenaknya untuk meninggalkannya demi wanita lain.
Aku tak pantas disebut ayah.
“Iya sayang, kamu sekolah saja dengan rajin. Papa pasti akan senang
pula, lelah ini akan terbayar dengan kegembiraanmu, sayang.”
∞∞∞
Mas Salva, mengapa tidak memperhatikanku? Aku tidak dapat konsentrasi.
Jika begini, bagaimana Dewi Lanjar akan merasuki dan mengabulkan permintaanku.
Kau bahkan tidak menoleh untuk melihatku.
Matsya! Sejak anak itu lahir, selalu saja dia yang menjadi prioritas
Mas Salva. Aku tidak suka melihatnya, aku ingin menarik tangannya dan berkata
bahwa Mas Salva itu milikku. Kau dan wanita bernama Lastri telah merampas
kebahagiaanku.
Aku korban.
Korban yang tersakiti disini.
Kalian hanyalah orang kota yang hendak mencuri segala tawaku.
Mengambil lelaki yang menjagaku sejak kecil.
Tega betul si Lastri itu!
Tahu-tahu menikahi orang yang mengobati segala lukaku.
Luka yang disebabkan Bapak.
Kini, aku harus mengalami segala kepedihan setelah Emak[8]
pergi melepaskan kontraknya di dunia.
Emak wanita yang kucintai.
Yang membuatku bertahan dan mematuhi perintah bapak sebagai sintren. Wanita yang mengajakku
menenggelamkan kaki-kaki mungil ini di bibir pantai.
Membiarkan rambut terurai tertiup dinginnya senja. Atau membiarkan
terik memberikan warna berbeda di lenganku. Atau hanya mencari kerang yang
terbawa oleh gelombang laut.
Semua yang tersisa hanyalah kenangan di pantai ini, Pantai Alam Indah.
Pantai yang sudah tercemar sampah-sampah masyarakat yang manja.
Pantai yang terbangun bangunan-bangunan baru pemerintah hanya untuk
mempercantik, tanpa tahu berapa banyak ekosistem yang tersakiti.
Berapa banyak kelomang yang mati terjebak sampah plastik. Menyedihkan.
Manusia egois.
Menyakiti makhluk lain tanpa perasaan bersalah.
Aku takut ia akan tersakiti, seperti aku dahulu. Bapak dan Emak berpisah karena wanita lain.
Haruskah aku menjadi orang sejahat itu?
Kalau saja wanita sihir berkuku merah panjang itu tidak memberikan
adik yang kelahirannya saja tidak diharapkan.
Tidak untukku.
Tidak untuk Emak.
Tidak pula untuk Bapak.
Merusak kebahagiaan anak berusia enam tahun, merampas semua mimpi
tentang keluarga.
Apa bedanya aku dengan wanita itu?
Tentu aku akan menyakiti bocah[9]
lugu sepeti Matsya. Membiarkan masa kecilnya termenung di pinggir pantai.
Rasanya aku mengerti.
Aku harus berhenti.
Mungkin saja Tuhan tidak menggariskan kita bersama, atau mungkin saja
jika kita memaksa akan banyak manusia yang tersakiti. Benar bukan, Mas Salva?
∞∞∞
Ah, lagi-lagi perawan itu hilang. Ayahnya mengamuk. Bahkan merusak
waktu bermainku dengan Matsya.
Ku susuri bibir pantai, dengan catatan aku harus menemukanmu, Sayyida.
Pasir pantai menyapa sandalku dan ingin bermain di dalamnya.
Aku melihatnya.
Aku melihat Sayyida.
Sayyida, mengapa kau menangis?
“Mas Salva” ia melihatku, aku
menghampirinya dengan langkah rengosan[10].
Melihat matanya yang sembab membuat hatiku terluka.
Ia tersenyum.
Sesekali membuang muka untuk melihat
cahaya-cahaya yang terpantul dengan cantiknya di tengah laut.
“Mas Salva” ucapnya sekali lagi.
“Iya, Ida. Ini aku Mas Salva” sahutku
pelan. Aku sungguh berhati-hati, gadis ini rapuh. Kehidupan sangatlah kejam
padanya. Merebut ayahnya, menghadirkan adik yang tidak sepersusuan, dan
merengut emak tercintanya.
“Mas Salva” ia terus menerus memanggil
namaku. Entah berapa kali.
“Mas, aku menyerah”
Aku menyimak, seksama. Takut aku salah
mengerti.
“Aku menyerah sebagai sintren, aku juga ingin menyerah melantunkan doa-doa agar Dewi
Lanjar mempertemukan kita sebagai jodoh”
Aku terdiam.
“Ini” Sayyida, menyerahkan selendangnya
padaku.
“Aku menyerahkan selendang ini pada
Matsya, gadis kecil yang menyelamatkanku jadi wanita jahat” lanjutnya.
“Katakan padanya, sintren bukanlah media pengabul. Tapi jika ia berkenan, tuntunlah
ia agar mencintai sintren seperti ia
mencintai dirinya. Katakan pula bahwa sintren
adalah budaya. Jika hendak berdoa, aku yakin kau mengajarkan hal yang baik
tentang siapa Tuhannya bukan?”
Aku mengangguk, ia menangis sambari memegangi
selendang yang setengahnya sudah ditanganku.
“Mas, jagalah keluargamu. Aku yakin, putri
kecilmu adalah cahaya yang menuntunmu menjadi orang lebih baik.”
Aku ingin memeluknya, Tuhan. Tapi aku
enggan membuat dosa lebih banyak. Lastri dan Matsya, malaikat penyelamat kami.
Penyadar bahwa hubungan tidak hadir untuk saling memaksa. Kesabaran dan kasih
sayang. Penghapus luka sejati.
“Maaf, Ida.. Maafkan aku, Sayyida.”
Kudus, 28 Juli 2016
Untuk Matsya
No comments:
Post a Comment