Rujak Uleg
Oleh Hajar Intan Pertiwi
Sepiring rujak uleg yang tersaji di
meja makan, makanan sedap dengan selera pedas gurih dari perpaduan
sayuran segar dan bumbu saus kacang pedas adalah rujak uleg atau juga sering
disebut dengan rujak cingur. Sudah coba mencicipinya? Kombinasi yang menggiurkan.
Pedas dan gurih bergejolak di
lidahku, ditambah manis asamnya pisang klutuk. Rujak uleg ini adalah menu makan siang wajib
sekurang-kurangnya tiga hari dalam seminggu. Bi Ijah penjual rujak uleg di
depan kantor tempatku bekerja sudah membuat rujak uleg selama 25 tahun, rujak
uleg ini mengiringi getir manisnya kehidupan Bi Ijah.
“Bi, saya rujak ulegnya satu, pedas
ya, Bi” ujar
Shinta sembari memberikan uang sepuluh ribu rupiah.
“Siap non, tunggu ya” sahut
Bi Ijah bergegas membuatkan sepiring rujak uleg untukku.
“Ini rujak ulegnya, Non Shinta” lanjut Bi Ijah..
“Makasih, Bi Ijah” ucapku sembari
menerima sepiring rujak uleg dari Bi Ijah. Seperti biasa aku membawa rujak uleg
ke dalam kantor, agar aku bisa menikmati rasa demi rasa dengan khidmat.
“Wah Shin, rujak Bi Ijah lagi ya?”
Alif memergokiku.
“Boleh aku minta separuh?” lanjutnya.
“Suka pedas?” tanyaku sambil
mengambil sendok di laci kantorku.
“Apa saja.” Ia mengambil sendok di
tanganku, kulihat tangannya memasukkan satu sendok rujak uleg ke mulutnya.
Aku
memandangi cara Alif makan. Sungguh tak menyangka Alif akan mendatangiku, tak
terbesit sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya agar ia mengunyah
lebih cepat dan menelan lebih segera. Alangkah mudah jika aku bermaksud
meracuninya.
Aku
tersenyum.
Senyum yang tak membuatnya celaka. Aku baru
memakan satu dua sendok.
Aku bukan sedang lapar kali ini.
“Kau mau kopi? Aku baru saja
membuatnya.”
Aku tersenyum dan
mengangguk, diikuti oleh Alif yang berjalan menuju meja kerjanya, lalu kembali dengan cangkir yang tampak
mengepulkan asap. Aroma
kopi menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku untuk membagi
kopinya. Kutuangkan kopinya perlahan tanpa tumpah setetespun.
Alif melanjutkan makan rujak ulegku
yang sekarang sudah menjadi hak miliknya.
Aku menatap lelaki yang mempunyai
senyum indah itu. Senyum
yang mencuri detak jantungku.
Iya, aku memang mengaguminya.
Disesapnya kopi yang masih mengepulkan
asap itu. Tanpa sadar kusentuh gelasku, dan ternyata kopi ini masih panas.
Ia sepertinya sudah terbiasa minum
kopi panas, sebuah ritual seperti rujak uleg bagiku.
“Terima kasih rujak ulegnya,” ujarnya
begitu meletakkan cangkir, menghindari salah tingkah lantaran kuperhatikan.
“Terima kasih juga kopinya”
“Kau bahkan belum meminumnya”, sahutnya sambil terkekeh.
“Masih panas kopinya hehe”
“Justru itu kenikmatannya Shin, kalau
sudah dingin tak bisa lagi disebut nikmat.”
“Hehe, iya iya. Aku minum ya.”
Aw.. pahit. Tak ada rasa manis
seujung kuku pun. Entah apa yang
ada dibenak lelaki berusia 27 tahun itu. Berbeda dengan rujak uleg, ada gurih
dan manis yang tersembunyi diantara pedas. Mukaku menciut. Sepertinya ia tahu
aku sedang kepahitan.
“Maaf maaf, kau mau gula? Aku
terbiasa minum kopi pahit.”
“Ah tidak usah lif, ini saja cukup.”
Senyumku.
Entah berapa lama percakapan ini berlangsung. Aku ingin
waktu terhenti sekarang juga.
Alif memang mudah sekali bergaul,
setahuku banyak yang ingin dekat dengannya. Sudah dua tahun ini aku
memperhatikannya, aku bahkan tahu kebiasaannya yang suka mengelintingkan dasi
ketika bosan.
Aku
teringat saat dimana ia pertama mencuri detak jantungku. Kala itu, kami
mengadakan kerja sama ke Kalimantan Selatan, tepatnya di Tanah Laut. Kami
berdua adalah delegasi dari kantor dalam rangka kerja sama dengan salah satu
pabrik disana. Di perjalanan kami bercerita banyak, tentang apa saja, aku
merasa dekat sekali dengannya.
Kegiatan
kami berlangsung selama tujuh hari, pada hari ke-6 ada kegiatan ke Pasar
Terapung, Sungai Barito Banjarmasin. Disanalah benih-benih cinta bersemi.
“Hati-hati
turunnya!” ucap Alif ketika ia membantuku turun dari perahu. Ia menggenggam
erat tanganku, agar aku tak terjatuh.
“Jangan
jauh-jauh dariku, nanti kau tersesat” ujarnya ketika aku sudah berhasil turun
dari perahu itu.
Sepertinya
Alif menyadari
perasaanku. Mana mungkin ia tak menyadarinya?
Sudah setahun terakhir aku berbagi
rujak uleg dengannya. Meskipun ia tak selalu minta rujak ulegku, tetapi kutawarkan manis dan gurih yang
tersembunyi dalam pedas dengannya. Sepertinya perasaan kasih kepadanya semakin dalam,
banyak sekali potongan-potongan kenangan berkecamuk di benakku. Seperti saat aku
bekerja lembur, saat pelaporan keuangan beberapa bulan lalu, ia datang
menghampiriku.
“Belum selesai?” tanyanya ramah, tak
lupa senyum manis ia bubuhkan.
Ajaib.
Lelahku berkurang saat itu juga, perasaan negatif hilang seketika.
“Iya lif, ini laporannya masih
banyak yang belum disalin hehe” jelasku sembari menggaruk rambutku
menghilangkan salah tingkah.
“Ini kubelikan makanan, kau pasti
belum makan dari siang” ia menaruh makanan di meja kerjaku.
Lalu ia
menepuk halus kepalaku.
“Jangan berlebihan kerjanya”, kemudian ia bubuhkan senyum
termanisnya kepadaku. Aku mengangguk dan terdiam sejenak.
“Ah
alif.. emm terimakasih” ucapku.
Alif kembali
ke meja kerjanya, tak lupa ku balas senyumnya dengan senyum termanisku. Ia
tertawa geli dan mengangguk. Ku pandangi punggungnya sampai ia menghilang di balik
sekat meja kerjanya.
Itu
potongan-potongan semangatku.
Seperti
biasa ujak uleg Bi Ijah ku beli dengan penuh semangat, hanya demi mendapatkan
perhatian Alif saja.
Waktu menunjukkan pukul 12:30 siang,
setelah kurenungkan, sepertinya aku
tidak melihatnya sejak pagi tadi. Hari ini aku beli rujak uleg lebih banyak
dari biasanya. Mana mungkin kuhabiskan ini sendiri?
“Hai Shinta, boleh minta rujak
ulegnya?” Sapa Ami menghampiriku.
“Wah rujak uleg ya?” Naura yang duduk
disebelah Ami pun ikut menghampiri. Syukurlah aku tidak perlu menghabiskannya
sendiri.
Kuambil dua buah sendok makan di laci
kantorku. Aku tidak terlalu akrab dengan mereka, setahuku Ami dan Naura bersahabat.
Naura sendiri beru masuk tiga bulan yang lalu, tetapi sudah akrab dengan
seluruh divisi di kantor ini.
“Ah, ini...” Naura menyerahkan
secarik undangan.
“Apa ini nau” tanyaku ragu. Tidak.
Tidak usah kau jawab pertanyaanku. Telah kubaca sendiri tulisan di undangan
pernikahan bercorak batik itu. Tunggu. Pedas, rasa pedas ini mengaum di telingaku.
“Mas Alif memintaku menyerahkan
undangan ini untukmu. Dia sedang mengurusi pernikahan kami” jawab naura dengan pelan
menyayat pedihnya hatiku.
“Mengapa
ia tidak menyerahkannya sendiri?” tanyaku kelu.
“Ia menyadari beberapa bulan ini, ah tidak bahkan
selama dua tahun ia mengenalmu, ia sering membuatmu salah presepsi. Makanya ia
takut menyakitimu” ucap Naura ragu.
Pedih
sekali.
Mungkin aku tersedak rujak uleg atau
mungkin terjebak dalam pedasnya percintaan. Sejak awal memang aku
hanya menunggu, bagaimanapun aku ini wanita. Banyak hal yang harus aku
pertimbangkan untuk menyatakan cintaku pada Alif.
Aku
bahkan tak berani bertanya siapa kekasihnya.
Pedas, hanya pedas yang tersisa
diujung rasa.
Pedas yang merasuk ke telinga dan
panasnya terasa di dada.
Kopi pahit Alif, membentuk seseorang
menjadi kuat, tabah dan tidak putus asa. Seperti Alif yang ternyata selama ini
mengejar cinta Naura.
“Tidak,
santai saja. Aku bahagia jika Alif dan kau bahagia Naura” ujarku dengan senyum,
agak getir rupanya.
Tetapi sudahlah, aku tak peduli apa
anggapan Naura.
Aku hanya akan menerima mereka dengan
lapang dada.
Aku hanya
akan menerima Naura dan Alif sebagai temanku.
Ya, ya,
ya!
Aku
tidak bisa egois dalam percintaan sepihak ini.
Mereka
layak bahagia.
Aku juga
layak bahagia.
Meski
harus dengan orang lain.
Hidup
terus berjalan.
Hidup
harus jujur menjalaninya.
Aku
yakin Tuhan telah menentukan yang terindah untukku, mungkin hanya belum
saatnya.
Tegal, 22 Juli 2016
No comments:
Post a Comment