Thursday, January 4, 2018

Rujak Uleg

Rujak Uleg
Oleh Hajar Intan Pertiwi

Sepiring rujak uleg yang tersaji di meja makan, makanan sedap dengan selera pedas gurih dari perpaduan sayuran segar dan bumbu saus kacang pedas adalah rujak uleg atau juga sering disebut dengan rujak cingur. Sudah coba mencicipinya? Kombinasi yang menggiurkan.
Pedas dan gurih bergejolak di lidahku, ditambah manis asamnya pisang klutuk. Rujak uleg ini adalah menu makan siang wajib sekurang-kurangnya tiga hari dalam seminggu. Bi Ijah penjual rujak uleg di depan kantor tempatku bekerja sudah membuat rujak uleg selama 25 tahun, rujak uleg ini mengiringi getir manisnya kehidupan Bi Ijah.
“Bi, saya rujak ulegnya satu, pedas ya, Bi” ujar Shinta sembari memberikan uang sepuluh ribu rupiah.
Siap non, tunggu ya” sahut Bi Ijah bergegas membuatkan sepiring rujak uleg untukku.
            “Ini rujak ulegnya, Non Shinta” lanjut Bi Ijah..
“Makasih, Bi Ijah” ucapku sembari menerima sepiring rujak uleg dari Bi Ijah. Seperti biasa aku membawa rujak uleg ke dalam kantor, agar aku bisa menikmati rasa demi rasa dengan khidmat.
“Wah Shin, rujak Bi Ijah lagi ya?” Alif memergokiku.
“Boleh aku minta separuh?” lanjutnya.
“Suka pedas?” tanyaku sambil mengambil sendok di laci kantorku.
“Apa saja.” Ia mengambil sendok di tanganku, kulihat tangannya memasukkan satu sendok rujak uleg ke mulutnya.
            Aku memandangi cara Alif makan. Sungguh tak menyangka Alif akan mendatangiku, tak terbesit sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya agar ia mengunyah lebih cepat dan menelan lebih segera. Alangkah mudah jika aku bermaksud meracuninya.
            Aku tersenyum.
Senyum yang tak membuatnya celaka. Aku baru memakan satu dua sendok.
Aku bukan sedang lapar kali ini.
“Kau mau kopi? Aku baru saja membuatnya.”
Aku tersenyum dan mengangguk, diikuti oleh Alif yang berjalan menuju meja kerjanya, lalu kembali dengan cangkir yang tampak mengepulkan asap. Aroma kopi menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku untuk membagi kopinya. Kutuangkan kopinya perlahan tanpa tumpah setetespun.
Alif melanjutkan makan rujak ulegku yang sekarang sudah menjadi hak miliknya.
Aku menatap lelaki yang mempunyai senyum indah itu. Senyum yang mencuri detak jantungku.
Iya, aku memang mengaguminya.
Disesapnya kopi yang masih mengepulkan asap itu. Tanpa sadar kusentuh gelasku, dan ternyata kopi ini masih panas.
Ia sepertinya sudah terbiasa minum kopi panas, sebuah ritual seperti rujak uleg bagiku.
“Terima kasih rujak ulegnya,” ujarnya begitu meletakkan cangkir, menghindari salah tingkah lantaran kuperhatikan.
“Terima kasih juga kopinya”
“Kau bahkan belum meminumnya”, sahutnya sambil terkekeh.
“Masih panas kopinya hehe”
“Justru itu kenikmatannya Shin, kalau sudah dingin tak bisa lagi disebut nikmat.”
“Hehe, iya iya. Aku minum ya.”
Aw.. pahit. Tak ada rasa manis seujung kuku pun. Entah apa yang ada dibenak lelaki berusia 27 tahun itu. Berbeda dengan rujak uleg, ada gurih dan manis yang tersembunyi diantara pedas. Mukaku menciut. Sepertinya ia tahu aku sedang kepahitan.
“Maaf maaf, kau mau gula? Aku terbiasa minum kopi pahit.”
“Ah tidak usah lif, ini saja cukup.” Senyumku.
Entah berapa lama percakapan ini berlangsung. Aku ingin waktu terhenti sekarang juga.
Alif memang mudah sekali bergaul, setahuku banyak yang ingin dekat dengannya. Sudah dua tahun ini aku memperhatikannya, aku bahkan tahu kebiasaannya yang suka mengelintingkan dasi ketika bosan.
Aku teringat saat dimana ia pertama mencuri detak jantungku. Kala itu, kami mengadakan kerja sama ke Kalimantan Selatan, tepatnya di Tanah Laut. Kami berdua adalah delegasi dari kantor dalam rangka kerja sama dengan salah satu pabrik disana. Di perjalanan kami bercerita banyak, tentang apa saja, aku merasa dekat sekali dengannya.
Kegiatan kami berlangsung selama tujuh hari, pada hari ke-6 ada kegiatan ke Pasar Terapung, Sungai Barito Banjarmasin. Disanalah benih-benih cinta bersemi.
“Hati-hati turunnya!” ucap Alif ketika ia membantuku turun dari perahu. Ia menggenggam erat tanganku, agar aku tak terjatuh.
“Jangan jauh-jauh dariku, nanti kau tersesat” ujarnya ketika aku sudah berhasil turun dari perahu itu.
            Sepertinya Alif menyadari perasaanku. Mana mungkin ia tak menyadarinya?
Sudah setahun terakhir aku berbagi rujak uleg dengannya. Meskipun ia tak selalu minta rujak ulegku, tetapi kutawarkan manis dan gurih yang tersembunyi dalam pedas dengannya. Sepertinya perasaan kasih kepadanya semakin dalam, banyak sekali potongan-potongan kenangan berkecamuk di benakku. Seperti saat aku bekerja lembur, saat pelaporan keuangan beberapa bulan lalu, ia datang menghampiriku.
            “Belum selesai?” tanyanya ramah, tak lupa senyum manis ia bubuhkan.
Ajaib. Lelahku berkurang saat itu juga, perasaan negatif hilang seketika.
            “Iya lif, ini laporannya masih banyak yang belum disalin hehe” jelasku sembari menggaruk rambutku menghilangkan salah tingkah.
            “Ini kubelikan makanan, kau pasti belum makan dari siang” ia menaruh makanan di meja kerjaku.
Lalu ia menepuk halus kepalaku.
“Jangan berlebihan kerjanya”, kemudian ia bubuhkan senyum termanisnya kepadaku. Aku mengangguk dan terdiam sejenak.
“Ah alif.. emm terimakasih” ucapku.
Alif kembali ke meja kerjanya, tak lupa ku balas senyumnya dengan senyum termanisku. Ia tertawa geli dan mengangguk. Ku pandangi punggungnya sampai ia menghilang di balik sekat meja kerjanya.
Itu potongan-potongan semangatku.
            Seperti biasa ujak uleg Bi Ijah ku beli dengan penuh semangat, hanya demi mendapatkan perhatian Alif saja.
Waktu menunjukkan pukul 12:30 siang, setelah kurenungkan,  sepertinya aku tidak melihatnya sejak pagi tadi. Hari ini aku beli rujak uleg lebih banyak dari biasanya. Mana mungkin kuhabiskan ini sendiri?
“Hai Shinta, boleh minta rujak ulegnya?” Sapa Ami menghampiriku.
“Wah rujak uleg ya?” Naura yang duduk disebelah Ami pun ikut menghampiri. Syukurlah aku tidak perlu menghabiskannya sendiri.
Kuambil dua buah sendok makan di laci kantorku. Aku tidak terlalu akrab dengan mereka, setahuku Ami dan Naura bersahabat. Naura sendiri beru masuk tiga bulan yang lalu, tetapi sudah akrab dengan seluruh divisi di kantor ini.
“Ah, ini...” Naura menyerahkan secarik undangan.
“Apa ini nau” tanyaku ragu. Tidak. Tidak usah kau jawab pertanyaanku. Telah kubaca sendiri tulisan di undangan pernikahan bercorak batik itu. Tunggu. Pedas, rasa pedas ini mengaum di telingaku.
“Mas Alif memintaku menyerahkan undangan ini untukmu. Dia sedang mengurusi pernikahan kami” jawab naura dengan pelan menyayat pedihnya hatiku.
“Mengapa ia tidak menyerahkannya sendiri?” tanyaku kelu.
“Ia  menyadari beberapa bulan ini, ah tidak bahkan selama dua tahun ia mengenalmu, ia sering membuatmu salah presepsi. Makanya ia takut menyakitimu” ucap Naura ragu.
            Pedih sekali.
Mungkin aku tersedak rujak uleg atau mungkin terjebak dalam pedasnya percintaan. Sejak awal memang aku hanya menunggu, bagaimanapun aku ini wanita. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan untuk menyatakan cintaku pada Alif.
Aku bahkan tak berani bertanya siapa kekasihnya.
Pedas, hanya pedas yang tersisa diujung rasa.
Pedas yang merasuk ke telinga dan panasnya terasa di dada.
Kopi pahit Alif, membentuk seseorang menjadi kuat, tabah dan tidak putus asa. Seperti Alif yang ternyata selama ini mengejar cinta Naura.

            “Tidak, santai saja. Aku bahagia jika Alif dan kau bahagia Naura” ujarku dengan senyum, agak getir rupanya.
Tetapi sudahlah, aku tak peduli apa anggapan Naura.
Aku hanya akan menerima mereka dengan lapang dada.
Aku hanya akan menerima Naura dan Alif sebagai temanku.
Ya, ya, ya!
Aku tidak bisa egois dalam percintaan sepihak ini.
Mereka layak bahagia.
Aku juga layak bahagia.
Meski harus dengan orang lain.
Hidup terus berjalan.
Hidup harus jujur menjalaninya.
Aku yakin Tuhan telah menentukan yang terindah untukku, mungkin hanya belum saatnya.

Tegal, 22 Juli 2016


No comments:

Post a Comment