Tuesday, April 12, 2011

Pertemuan Singkat

"Hei, hei, katanya hari ini ada murid baru loh !" seru salah satu tamenku yang bernama Miki.

“Hah? Yang bener? Perempuan apa laki-laki?" temanku yang bernama Nana bertanya.

“Beneran, dia laki-laki. Cakep banget, kaya artis, katanya sih pindahan dari Tokyo." sahut Miki.

“Wah..aaa pasti asyiikk, aku mau kenalan ah..hehe" sahut Mikan sambil berkhayal.

“Hei, hei.. Diamlah, diotakmu cuma ada laki-laki ya? Dasar mesum ==“ ledek Miki.

“Sembarangan kalau ngomong! Baka Miki!!" jawab Mikan setengah marah.

“Harusnya kau memanggilku ‘onii-san’, dasar adik gak tahu sopan santun." balas Miki tak mau kalah. Aura kegelapan muncul di sekitar mereka berdua.

“Sudahlah, jangan ribut." aku mencoba mendinginkan suasana.
Chi-Chi! Chiaki-chan! jangan ikut campur!" sahut mereka kompak. (Chi-Chi adalah panggilan untukku yang diciptakan oleh Miki, sebenarnya aku agak keberatan, soalnya chichi itu bisa berarti ayah)

“okeeh terserah kalian sajalaah." aku mengembuskan nafas kencang.

Miki Yamanaka memang laki-laki yang paling up to date di kelas, dia selalu mendapatkan informasi paling awal disetiap sudut sekolah. Entah datang darimana informasi itu. Kadang hal itu tidak disukai oleh teman-temannya, karena mereka menganggap dia sok tahu. Miki dan Mikan adalah saudara kembar. Mereka selalu bertengkar. Katanya Miki lahir dua menit lebih awal dari Mikan, tetapi Mikan sama sekali enggan mengakuinya. Miki adalah teman baikku, aku lebih mengenal Miki dibandingkan Mikan.

Ah aku tidak tertarik mencari pacar, aku tak akan mendekati murid baru itu.

"Eh itu diaa, kakkoi.. Keren banget!" seruan anak laki-laki di kelasku terdengar jelas dan lantang.

“Anak-anak, diam! Sora Haruki, silahkan kenalkan dirimu." jawab sensei Hiruma Nakamori.

“Nama saya Sora Haruki, saya dari Tokyo. Saya pindah kesini, karena orang tua saya pindah kerja ke kyushu, saya sekarang tinggal bersama bibi dan paman saya. Saya rasa cukup, arigatou.."

“Hah? Berarti kamu gak tinggal bareng ortu dong?" tanya Nana.

“Iya" jawabnya singkat.

“Orang tuamu kan di Kyushu, kenapa kamu pindah ke Hokkaido? Itu kan jauh." tanya Nana lagi.

Nana Natsuoka memang perempuan yang selalu penasaran dan akan tetap penasaran sampai mengetahui kebenarannya. Memang menakutkan sih, tapi dia baik banget dan murah senyum.

"Natsuoka-san, cukup. Simpan pertanyaanmu untuk jam istirahat. Haruki-san kau duduk disamping Chiaki Ishikawa. Ishikawa-san, tolong bantu Haruki-san dalam beradaptasi.” ucap sensei.

"Hai, wakarimasu." aku berdiri lalu mengangguk.

"Eeh? Tunggu dulu, tapi kan pertanyaanku belum dijawab." eyel Nana.
"Sudah, sudah. Sensei harus pergi, karena ada rapat kedinasan, jadi kalian kerjakan halaman 50. Jangan berisik! Jangan ada yang keluar kelas, okay?" jelas sensei.

"Baik sensei!!" jawab kami serentak sambil menyembunyikan senyum dan rasa kegembiraan kami.

Sensei pun keluar kelas, saat sensei menutup pintu kelas, spontanitas seluruh murid di kelas berteriak,
"YATTA!! BANZAI BANZAI BANZAIIII!!" sensei hanya bisa mengelus dada dan tersenym tipis.

Sora Haruki mendekatiku dan berkata sambil memberi hormat (read: membungkuk),
"Ishikawa-san, hajimemashite watashi wa Sora Haruki desu. Yoroshiku onegai shimasu. Mohon bantuannya"

Aku berdiri dan membalas hormatnya sambil tersenyum, aku tak memberikan sepatah katapun, karena aku bingung mau ngomong apa. Lalu dia duduk di sebelahku.

Pelajaran kosong bukanlah hal yang membosankan bagi anak kelas 2-1 Horikoshi Gakuen, karena di pelajaran kosong inilah mereka bisa melakukan apa yang mereka mau. Bukan berarti mereka lalai terhadap tanggung jawab mereka dalam belajar. Mereka mengerjakan tugas yang di berikan sensei Hiruma Nakamori terlebih dahulu. Sensei Nakamori tidak pernah memberikan tugas yang berat, semua pelajaran yang diberikannya sangat mengasikan. Walaupun beliau sedikit galak, kami sama sekali tidak takut padanya, bahkan senang jika beliau marah. Karena beliau tidak pernah marah sungguhan pada kami. Suasana hening terjadi selama kurang lebih 15 menit, tugas dari sensei pun telah kami kerjakan.
Aku hendak memamerkan tulisanku yang bagus ini kepada Sora Haruki, agar dia tahu bahwa tulisanku paling bagus di kelas 2-1.

"Ini catatanku, kalau mau pinjem silahkan saja." jawabku sambil tersenyum kecut. aku adalah sekertaris di kelas 2-1, tak heran bahwa tulisanku bagus, dan aku bangga akan hal itu.

"Arigatou ne~ Ishikawa-san, ini sangat membantuku." senyumnya yang keren melebar. Aku melirik buku yang tergeletak di mejanya.

"Astaga, tulisannya bangus banget. Ini sih jelas aku kalah. ah masa aku dikalahkan oleh laki-laki sih? Enak saja." batinku, tanpa membalas senyumannya aku membuang muka. Dia terlihat keheranan.

“Ada apa Ishikawa-san?” tanyanya ragu-ragu.

“Ah, tidak apa apa. Lupakan.” Jawabku acuh.

“Emm, boleh aku memanggilmu Chiaki-san?.”

“Ya, terserah kau.”

“Kalau begitu kau panggil aku Sora, okay?”

Aku tak menjawab.

“Sora Haruki, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan untukmu!” seru Nana tiba-tiba, layaknya reporter, dia membawa sisir gulung yang dianggapnya sebagai mike. Setelah Nana menghampiri Sora, teman-teman pun mengerubunginya, layaknya semut mengerubungi gula.

“Hei, hei, hentikan itu Nana-chan, itu akan mengganggu ketenangannya.” Ucap Miki.

”Aku sedikit iri, mengapa dia menjadi pusat perhatian?” aku menggerutu dalam hati. Aku ingin sekali hari ini cepat berakhir. Aku memang bukan termasuk orang yang cepat akrab dengan orang baru kutemui, aku tipe orang yang tertutup.

Bell istirahat pun berbunyi, aku merasa terselamatkan. Aku membuka bekal makanan yang aku buat tadi pagi, aku tinggal berdua dengan ayahku, tentunya aku harus bisa memasak. Orang tua ku bercerai ketika aku masih berumur 5 tahun, karena sesuatu hal yang tidak aku mengerti. Sekarang umurku 16 tahun. Mengapa mereka bercerai? Bukankan mereka sudah berjanji satu sama lain? Aku mempunyai seorang kakak laki-laki, dia sangat baik dan menyayangiku. Namun, ia ikut dengan ibu, katanya ia tidak tega membiarkan ibu sendirian. Jarak usiaku dan kakak lima tahun. Ibu ku juga orang yang baik, aku sangat menyayanginya. “aaaah, lupakaan! Mengapa aku mengingat masa-masa suram itu.” batinku sambil menggelengkan kepala, aku pun melanjutkan makan siangku.

“Doushite? Ada yang kau pikirkan Chiaki-san?” tanya Sora membuyarkan lamunanku.

“Ah, aku tak apa.” jawabku singkat.

“Hei, kau ini sebenarnya kenapa sih? Dari tadi jutek mulu.” Sahutnya setengah marah. Aku mengacuhkannya.

“Nanti pulang sekolah anterin aku keliling sekolah ya, soalnya sekolah ini besar sekali.” Ucapnya sambil tersenyum.

Aku enggan mengakui ini, tetapi senyumannya memang cakep. “Ah apa sih yang aku pikirin?” batinku. Aku pun menjawab dengan nada kesal,

“Ajak saja yang lain, aku malas.”

“Kau kan yang ditunjuk sensei, mau lari dari tanggung jawab ya? Dasar..”

“Enak saja, maaf ya, tapi aku bukan tipe orang yang kaya gitu.” Jawabku kesal.

“Lalu apa kalau bukan lari dari tanggung jawab?”

“Okaaay okay, aku akan mengantarmu keliling. Puas kan? Sekarang jangan ajak aku bicara.” Tanpa sadar aku memarahinya

“Astaga, mengapa aku jadi begini? Semoga aku gak keliatan salah tingkah. Aku deg-degan waktu bicara dengannya, makanya aku ingin dia pergi.” Batinku.

“Murid-muridku yang kami banggakan, maaf atas ketidaknyamanan ini. Berhubung rapat dinas ini sangat penting dan memakan waktu yang cukup lama, kalian belajar dirumah. Maaf atas ketidakefisienan ini, saya sebagai wakil kepala sekolah, mewakilkan para guru untuk mohon maaf sebesar-besarnya. Arigatou gozaimasu.”

Keheniangan terjadi beberapa saat. Lalu, serentak murid-murid di Horikoshi Gakuen berteriak kencang, bertepuk tangan, mata mereka berbinar-binar seperti anak kecil yang habis dibelikan balon oleh orangtuanya.

“Chiaki-chaan, tepati janjimu.” Ledek Sora.

“Baiklah.”


Aku mengantarnya berkeliling kira-kira satu jam, sekolah ini memang sangat luas, aku yang sudah dua tahun bersekolah disini saja masih sering kesasar. Semua ruangannya dilengkapi oleh AC, kapur dan papan tulis serta penghapusnya, meja kursi (kecuali ruang olahraga), dan alat-alat seperlunya sesuai mata pelajaran. Entah mengapa aku merasa nyaman saat berdampingan dengan Sora Haruki, padahal dia orang yang baru aku temui.

“Sankyuu Chiaki-chan. Kau sangat membantuku.” Ucapnya gembira.

“Emm.” Aku hanya menggumam gak jelas.

“Sudah larut, aku antar kau pulang ya?”

“Gak usah, aku bisa sendiri kok.” Tolakku dengan tegas.

“Hei, ayolah. Aku gak enak sama keluarga mu, gara-gara aku kau pulang jam segini. Lagian kau ini perempuan, gak baik pulang larut sendirian.” Paksanya

“Tenang, ini bukan Tokyo. Hokkaido tidak seperti Tokyo, orang-orangnya baik kok.” Sahutku.

“Iya iya aku tahu, tapi tetep aja gak enak. Masa ada sih laki-laki cakep seperti aku yang ngebiarin perempuan pulang sendirian?” candanya.

“Emang kamu cakep ya?” ledekku.

“Sudahlah, ayo tunjukkan dimana rumahmu!” ucapnya kesal.

Dalam perjalanan kami ngobrol panjang lebar, aku gak menyangka akan cepat akrab dengan laki-laki yang baru aku kenal. Banyak yang dia tanyakan padaku, aku hanya menjawab seperlunya. Sesekali kami bercanda. Andai waktu bisa berhenti sekarang, khayalanku terlalu bodoh. Tanpa sadar kami tiba di rumah ku.

“Kita sudah sampai, ini rumahku. Arigatou” tanpa sadar senyumku melebar. karena malu, aku langsung memalingkan muka.

“Iie, douitashimashite” jawabnya dengan riang.

“Tadaima” ucapku sambil membuka pintu.

“Okaeri” jawab ayah dari dalam.

“Siapa dia? Gak biasanya kau membawa laki-laki selain Miki” tanya ayahku dengan nada curiga. Ya memang ak sering mengajak Miki main ke rumahku, itu juga bertiga dengan Nana. Kita bertiga memang bersahabat sejak aku masuk SMA, mereka berdua adalah teman pertamaku.

“Miki? Miki Yamanaka maksudmu?” tanya Sora dengan wajah kesal.

“Iya, siapa lagi?” balas ayahku sambil mendelik seperti macan yang hendak melindungi anaknya.

“Sudahlah, kalian ini kenapa sih?” leraiku kesal.

“Maafkan saya, nama saya Sora Haruki. Maaf atas keterlambatan putri anda, ini semua salah saya. Dia mengantar saya berkeliling sekolah.” Jelas Sora panjang lebar.

“Yasudahlah.” Jawab ayah singkat.

“Saya permisi.” Sahut Sora.

“Emm” gumam ayahku.

“Hari yang melelahkan” batinku, aku langsung berganti pakaian dan memasakkan telur dadar buat ayahku.

“Maaf yah, Chi cuma masak telur. Chi cape banget.” Ucapku dengan nada bersalah.

“Tidak apa apa Chi, lebih baik kau istirahat saja. Ayah juga masih banyak kerjaan.” Balas ayah menenangkanku.

“Baik yah.”

Aku menutup mataku dan menenggelamkan pikiranku ke dunia mimpi.



Kukuruyuuuk kukukurrruuyuuuk ! suara jam bekerku berbunyi, aku lekas bangun, lalu menggosok gigi dan berganti pakaian. Orang jepang jarang mandi pagi, mereka mandi setelah pulang sekolah atahu kerja, apalagi ini musim semi, jadi aku tak akan banyak berkeringat. “Entah mengapa hari ini aku sangat bersemangat, apa jangan jangan..ahh lupakan” gumamku tak jelas.

Sesampainya di sekolah, mataku berkeliaran seperti macan yang mencari makanan. Namun, makanan itu tak kutemukan juga. Karena penasaran, aku pun bertanya pada Miki.

“Sora Haruki bolos ya? Padahal ini kan hari keduanya sekolah, niat engga sih..ckck” tanya ku dengan nada mengejek, agar rasa cemasku tak diketahui teman-teman.

“Chi-chi, kau jangan bicara sembarangan. Dia tertabrak mobil kemaren malam, keadaannya sangat kritis.”

Kakiku lemas, dadaku sakit. Kemaren malam kan dia mengantarku pulang, padahal kemaren dia baik-baik saja. Jadi, ini semua salahku? Tubuhku hilang keseimbangan, kakiku tak mampu menopang tubuhku ini. Setelah itu aku tak ingat apa pun.

“Auw, kepala ku sakit.” Kupegangi kepalaku sambil melihat sekelilingku.

“Kau sudah siuman ya?” tanya Nana dengan wajah khawatir.

“Ini dimana Na? mengapa aku disini? Apa yang terjadi padaku?”

“Ini diruang kesehatan, kau pingsan saat mendengar Haruki-san kecelakaan.”

Aku tak menjawab apa pun, apa yang harus aku katakan?


“Aku tahu kau pasti kaget, ini.. kau harus membacanya” Nana menyerahkan buku kecil seperti buku harian, aku mengulurkan tanganku.

“Apa ini? Milikmu?”

Nana menggeleng dan menjawab, “Haruki-san..itu milik Haruki-san, kau harus membacanya”


Dear diary,
Hahaha apa yang aku pikirkan? Aku kan laki-laki, ngapain beli buku diary segala. Biarlah, aku ingin menyimpan kenangan masa kecilku. Ini pengalaman yang memalukan, tetapi sangat berharga buatku. Kejadian itu terjadi saat musim semi enam tahun yang lalu.
Saat itu keluargaku sedang berkunjung ke Hokkaido, tepatnya rumah paman dan bibi. Karena itu adalah pertama kalinya aku ke Hokkaido, aku pun tersesat, aku menangis. Rasa panik mulai merasukiku, aku tak melihat ada batu besar di hadapanku, aku pun terjatuh. Aku menangis sejadi-jadinya, aku tak peduli walaupun aku itu laki-laki.
“hei, kau tak apa?” aku mendengar suara gadis kecil. Aku mendongak keatas, ternyata ada gadis kecil yang melihatku dengan cemas.
“mana yang luka?” tanyanya sekali lagi.
Aku menggeleng dan mengusap air mataku. Aku melihatnya sedang mencari sesuatu di kantong bajunya.
“ah ini dia” ucapnya sambil mengeluarkan sapu tangan dari sakunya.
“lukamu harus dibersihkan, biar gak infeksi.” Ucapnya sambil tersenyum lebar.
Aku mengangguk, dia membersihkan lukaku dengan cermat. Aku tak bisa berkata-kata, gadis kecil itu sangat manis. Dia mengenakan rok terusan selutut, rambutnya yang pendek dikucir dua, seperti boneka saja. Setelah lukaku bersih, dia kembali mencari sesuatu di sakunya.
“ah ini dia” dia mengeluarkan hansaplas dan menempelkannya pada lukaku.
“sudah ya, kau jangan menangis. Kau kan laki-laki.” Dia pergi dan tersenyum.
“emm, siapa namamu?” mungkin itu pertama kalinya aku mengeluarkan suara.
“aku? Orang-orang memanggilku ‘Chi’ . sampai jumpa” dia pergi sambil tersenyum. Ah sapu tangannya tertinggal. Aku akan menyimpannya.
Itulah cinta pertamaku, sekarang aku sudah berumur 16 tahun. Aku ingin menemuinya.

Kalau gak salah kejadian itu kan bertepatan dengan hari dimana aku mengetahui penyebab perceraian orang tuaku. Aku lari dari rumah, entah mengapa aku lari, aku bahkan tak mengerti alasanku lari. Saat itu usiaku masih 10 tahun, yang aku tahu mereka bertengkar karena aku. Tiba-tiba langkahku terhenti, mataku tertuju ke satu titik. Disana ada anak seumuranku, “mengapa dia menangis? Aku tak ingin ada yang menangis” batinku. Lalu tanpa pikir panjang, aku pun menolongnya.


Aku membuka halaman berikutnya di diary itu.


Hei diary,
Menyebalkan, mengapa ayah tak memberiku ijin ke Hokkaido? Aku kan ingin bertemu dengannya. Tekatku sudah bulat. Resikonya aku harus meninggalkan teman-temanku di SMA ini. Padahal mereka teman yang asik.


Isi buku harian ini semuanya tentang aku. Ku buka halaman terakhir buku itu.


Diary,
Akhirnya aku satu sekolah dengan “CHI” , aku sangat merindukannya. Sikapnya sekarang berubah ya, agak jutek. Namun, aku tetap senang. Aku harus mendekati dan mendapatkan hatinya.
Waah, senyumnya indah sekali. Hari ini sangat menyenangkan. Mataku selalu memandangnya, tak satu detikpun aku melepaskan pandanganku darinya.
Aku mendapatkan kesempatan mengantarnya pulang. Wah ayahnya galak juga ya.. tadi ayahnya menyebut nama Miki kan? Apa hubungan Miki dengan Chi? Sepertinya Miki akrab sekali dengan ayahnya. Aku cemburu.
Oh iya, kalau tidak salah Miki memberikan nomer ponselnya. Aku akan menelponnya.


“Kata Miki-chan, Haruki-san bertanya dengan nada setengah marah. Dan ..” penjelasan Nana membuatku semakin terkejut. Sora, dia tertabrak mobil saat menelpon Miki dan itu semua karena aku. Setelah mendengar penjelasan itu, tanpa pikir panjang aku berlari menuju rumah sakit.

“Hei Chi-chan, kau mau kemana?” tanya Nana setengah teriak, karena dia tahu, sekeras apapun dia bicara, aku tak akan mendengarnya.

“Aku mohon, jangan pergi. Aku bahkan belum menyampaikan perasaanku. Aku mohon, bertahanlah.” Gumamku kacau.

Jarak rumah sakit lumayan jauh dari sekolahku, tetapi aku tak peduli. Aku terus berlari, aku ingin melihatnya. Aku ingin bertemu dengannya.

“Suster, kamar Sora Haruki, korban kecelakaan tadi malam, di ruang berapa?” tanya ku dengan nada kacau, semoga suster itu mengerti apa yang aku katakana.

“Di kamar 105, tetapi..” ucap suster, aku tak peduli kata-kata selanjutnya yang akan dia katakan. Aku berlari menuju kamar 105.

Ini dia kamarnya, kaki ku melemas melihat orang-orang itu hendak membawa Sora. Sora terbaring kaku di tempat tidur.

“Hei, hentikan! Sora mau dibawa kemana? Biarkan aku bicara dengannya. Aku mohon. Dokter, aku mohon.”

Dokter itu hanya memalingkan mukanya, dia menutup wajah Sora dengan kain putih. Aku berteriak dan menangis.

“Kalian apakan Sora? Aku mohon, dia belum meninggal. Aku mohon, jangan bawa dia pergi.” Tak satupun orang melihatku, sepertinya mereka ridak tega. Salah satu suster menenangkanku. Aku memberontak. Aku tidak mau berpisah dengannya.

“Aku mohon dok, izinkan saya menyampaikan kata-kata terakhir untuknya. Aku mohon..” ucapku setelah diriku tenang. Aku mendekati jazadnya yang kaku.

“Bodooh, aku menyukaimu. Sora, kau tega. Kita kan baru saja bertemu..”

“Dok, izinkan kami sendiri.”

Dokter hanya mengangguk dan meninggalkan kamar nomor 105.

“Kalau saja kau tidak menyusulku ke Hokkaido, kau pasti selamat. Ini semua gara-gara aku..aaaaaa” aku menangis dan menangis. Aku tahu, dia tak dapat mendengarku lagi. Wajahnya pucat, kugenggam tangannya. Dingin, dingin sekali tangannya. Aku terus bergumam, mengungkapkan semua yang ingin aku katakan.


Sore harinya Sora Haruki dimakamkan. Orang tuanya kaget mendengar itu, mereka menangis. Sora Haruki adalah anak mereka satu-satunya. Namun, mereka tak sedikitpun menyalahkan aku. Itu semakin membuatku bersalah. Entah aku bisa menjalani kehidupanku seperti biasa atau tidak.

Aku melanjutkan hidupku. Namun, semuanya tidak kujalani seperti biasa. Rasanya aku ingin menyusulnya. Aku mengurungkan niatku untuk bunuh diri dan memulai membaca buku harian Sora. Di bagian belakang buku itu ada gambar. Gambarnya kacau, tak beraturan. Ada gambar perempuan, laki-laki, dan anak laki-laki. Disitu bertuliskan,




“aku, Chi, dan anak kami di masa mendatang :)
ITSU MADE MO KAWARANAI”

No comments:

Post a Comment