Ya, kalian pasti tahu judul post saya yang satu ini. Benar sekali, itu adalah judul buku dari RA. Kartini.
Saya akui saya belum pernah membaca buku beliau yang judulnya Habis Gelap Terbitlah Terang yang telah dikenang oleh bangsa Indonesia tersebut. RA. Kartini adalah penyelamat wanita Indonesia, pahlawan yang patut dikenang oleh bangsa Indonesia, berkat beliau wanita kini berhak mempunyai peran penting ataupun bisa memiliki kedudukan yang sama. RA Kartini lahir pada 21 April 1879.
Walau sebelum Kartini memperjuangkan hak kami (sebagai wanita), dalam sejarah umat Muslim nabi Muhammad SAW telah lebih dahulu memperjuangkan kami, pada masa jahiliyyah wanita bahkan tidak dianggap. Wanita mendapat penghormatan yang amat sedikit. Ramai wanita dianiayai. Beberapa contoh yang buruk malah paling kejam ialah menguburkan bayi hidup-hidup. Kekejaman terhadap bayi perempuan di kalangan Arab zaman jahiliyah amat menyedihkan dan sangat hina. Setelah kedatangan Islam, martabat kaum wanita diangkat dan dimuliakan. Tiada lagi diskriminasi terhadap kaum wanita dan mereka juga mempunyai hak-hak tertentu di dalam kehidupan. Begitulah adilnya Islam terhadap kaum wanita dan telah membebaskan mereka dari diskriminasi yang telah sekian lama membelenggu diri mereka.
Namun, bangsa Indonesia masih memperlakukan wanita di dalam kotak. Kami tidak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai wanita, tentu saja itu zaman sebelum saya lahir, sekarang para wanita sudah dapat bernapas lega, kami mempunyai hak yang sama dengan pria, dalam pendidikan, sosial, politik dan dalam bidang lainnya. Itu semua tidak semerta-merta berubah begitu saja, tentu para wanita terdahulu, salah satunya adalah RA Kartini, telah memperjuangkan hak-hak kami sebagai wanita.
Kartini berjuang untuk membebaskan kaumnya dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat melecehkan serta merendahkan martabat perempuan pada masanya. Sejak itulah pemicu gerakan emansipasi wanita di Nusantara.
Oke cukup dengan sejarah emansipasi wanita. Saya ingin bercerita tentang Kartini-Kartini di sekitar saya yang sangat luarbiasa. Ibu saya dan kedua Nenek saya adalah wanita yang hebat. Nenek yang juga ibu dari bapak saya bernama Suneri umurnya nyaris 74 tahun, tetapi stamina yang dianugerahkan Allah SWT sangatlah luarbiasa, beliau tidak bisa duduk santai dan leha-lehe seperti nenek-nenek seumurannya. Ketika kami menyuruhnya beristirahat, beliau bahkan berkata "mbah, kalau duduk terus malah badannya pegal semua nok." Ya nenekku yang biasa aku sapa dengan sebutan mbah ini memang luarbiasa, tidak pernah mengeluh, di masa tuanya pun beliau tidak mau menggantungkan diri pada anak dan cucunya.
Berikutnya adalah ibu dari ibu saya, bernama Sri Sulastri, saya biasa memanggilnya uti. Beliau hidup bersama suaminya (kakek kami), beliau umurnya tidak jauh beda dengan mbah. Di usianya itu, uti dan suaminya (biasa kami panggil kakung yang artinya kakek), berjualan roti. Roti yang dibuat uti dan kakung sangat enak, dan mempunyai banyak pelanggan, pesanan mereka kadang mencapai seribu roti perhari jika ada acara penting.
Terakhir adalah Ibu saya, bernama Suprihatin. Saya rasa tidak ada ungkapan yang cukup pantas untuk ibu sehebat beliau, ibu saya adalah segalanya. Beliau melebihi pahlawan manapun. Sosok ibu, sahabat, kakak, semua ada di ibu, ibu saya segalanya buat saya. Beribu-ribu kalimatpun pasti tidak akan cukup untuk mendiskripsikan ibu saya. Saya sangat mengagumi sosok ibu dan ingin menjadi seperti dirinya kelak, tetapi ibuku selalu berkata "tidak perlu kau menjadi siapapun, kau adalah putriku yang paling sempurna."
Dulu saat saya jadi bulan-bulanan oleh teman-teman saya, karena saya gendut, tidak cantik dan pandai, ibu saya lah teman saya yang setia menemani. Di saat sahabat-sahabat saya meninggalkan saya, ibu saya tetap menjadi sahabat saya. Saya rasa ibu saya tidak akan tergantikan oleh pahlawan manapun. Ibu yang selalu menerima kekurangan dan kelebihan anak-anak beliau, dan menjadikan anak-anak sebagai tujuan hidup beliau. Beliau tetap memperjuangkan pendidikkan anak-anak beliau meski kami keluarga sederhana yang mendekati kurang mampu, saya bahkan hampir beberapa kali putus sekolah karena biaya. Namun, ibu.. ibu melihat cerminan dirinya dahulu yang tidak dapat melanjutkan kuliah karena biaya, tidak ingin hal tersebut terjadi pada anak-anak beliau. Meski kami putus sekolah sekarang ini, kami janji akan melanjutkan keinginan beliau dengan jerih payah kami sendiri. Saya ingin kuliah lagi, saya ingin menjadi wanita yang berdiri diatas kaki saya sendiri, begitulah ibu saya mengajarkan saya.
Ibu, saya sayang ibu. Terima kasih untuk segalanya, saya ingin terus berbakti pada ibu dan bapak, saya ingin melihat ibu dan bapak bahagia.
No comments:
Post a Comment