Sunday, December 11, 2011

Akikaze, Kisah yang dipertemukan kembali oleh Takdir

Aku membuka buku diary usang itu lagi, berapa kalipun kumembacanya, ia tak akan pernah kembali. "Langit musim semi" ku telah pergi, pria bernama Sora Haruki itu takkan kembali. Mengapa takdir mempersingkat pertemuan kita? Satu hari yang sangat berharga, itulah yang selalu kukenang. Pertemuan dan perpisahan dalam satu hari, bolehkah kau mengulang pertemuan itu, Tuhan? Berkali-kali aku meminta ia tuk kembali, tetapi Tuhan berkata lain. Langit yang cerah dan penuh kehangatan itu tak bersamaku lagi. Sekarang musim gugur, entah sudah berapa musim kulalui. Namun yang kuingat hanya musim semi yang kelabu. Musim yang membuat kenangan dalam satu hari, yang mempertemukanku pada seorang pria dan yang memisahkanku dengan pria itu. Pagi ini adalah awal musim gugur, dingin sekali. Aku malas berangkat sekolah.

"Chi, sarapanmu sudah siap. Ayah membuat pan cake kesukaanmu Chi." ucap ayah sambil memasuki kamarku.

Aku hanya tersenyum. Lalu mengangguk.

"Kau tidak enak badan ya?" tanya Ayahku, seorang ayah yang harus menjadi ibu sekaligus ini sangat luar biasa.

"Aku tidak apa-apa, yah. Tunggu aku di meja makan, aku akan bersiap-siap." Jawabku sambil berusaha bangkit dari tempat tidur.

"Baiklah. Ayah akan membuatkan roti panggang."

Aku hanya membalas dengan senyum. Walaupun aku terlahir di keluarga broken home, bukan berarti aku menjadi orang yang tak beruntung. Kedua orang tuaku juga tidak ingin bercerai jika bukan karena keadaan. Ibu ku telah menikah lagi dan bahagia, sedangkan kakakku kuliah di Amerika. Aku senang mereka telah bahagia, dan aku cukup bahagia dengan Ayahku. Namun, kadang aku berpikir, "apa ayah tidak kesepian?". Aku mengurungkan niat untuk bertanya demikian. Aku takut menyakiti Ayah nomor satu seduniaku.

Setelah berganti pakaian, aku menuju ruang makan. Di sana terdapat meja kayu berbentuk persegi panjang, terdapat empat kursi. Namun, hanya dua kursi yang selalu kami pakai. Terkadang aku berkhayal, "Apa kita bisa kembali seperti dahulu? Duduk berempat, bercanda, tertawa. Saat-saat bahagia itu akan kembalikah?"  . Aku sadar itu hanya bayangan semu yang kuciptakan dengan imajinasiku, dan semua yang menghilang tak akan pernah kembali lagi. Kecuali ada yang menggantikannya. Aku tak akan pernah mau, jika Ayahku menikah lagi. Karena bagiku, Ibuku adalah segala-galanya. "Lalu, bagaimana dengan Ayah? Dia berhak bahagia, bukan?" pertanyaan itu membuatku membuka hati, kalaupun aku mendapat Ibu yang baru, aku tidak akan apa-apa, asal Ayah bahagia.

Ku pandangi raut wajah Ayahku, kerutan di wajahnya semakin banyak, wajah pekerja keras itu sangat tegas, tetapi juga begitu hangat. Ayah tak pernah memperlihatkan kecemasannya padaku, dia selalu berkata "Semua akan baik-baik saja, nak."  sambil tersenyum pernuh arti.

"Chi, ada apa? Dari tadi ngeliatin wajah Ayah mulu. Kenapa? Tambah ganteng ya? hahaha." canda Ayah memudarkan kecemasanku.

"hahaha Ayah bisa aja." aku tertawa dan duduk di sebrang Ayahku.

Kusantap roti panggang dan pan cake yang ayah buat. Tak lupa ku tenggak segelas susu sapi segar bagianku. Hari ini giliran Ayah memasak, di ruang makanku terdapat papan tulis kecil lengkap dengan kapurnya untuk menjadwal giliran siapa yang memasak dan membersihkan rumah setiap harinya. Makanan yang Ayah siapkan bersih tak tersisa. Setelah itu aku berpamitan pada Ayahku.

"Yah, Chi berangkat dulu yaa.." ucapku ceria.

"Ini bekalmu, hati-hati ya Chi."

"hai, arigatou otou-san." ucapku sambil tersenyum.

Kali ini aku berangkat menggunakan sepeda, ini sepeda rakitan Ayahku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17. Ayahku serba bisa.

"Ohayou minna-san."

"Ohayou Chi-chi." sambut Miki dengan penuh semangat di pagi hari.

"Bagaimana dengan pagimu kali ini, Chi-chan?" aku dapat menebak suara pertanyaan ini, sudah pasti ini adalah Nana sang reporter kelasku. Aku bersyukur sekelas dengan mereka di kelas 3-2 ini. Mereka berdua, Nana dan Miki adalah sahabatku sejak kelas satu. Aku menyayangi mereka, mereka hadir di saat-saat beratku.

"Pagiku menyenangkan Nana, bagaimana denganmu?"

"Luar biasa dong !" sahut Nana riang. Senyum gadis itu sangat manis.

"Nana, kemari kau! Aku mau bicara.." ucap Miki tiba-tiba. Aku tak suka dengan raut wajah itu, seperti penuh kecemasan.

"Ada apa, Miki?" tanya Nana dengan alis mengkerut.

"Semoga kejadian enam bulan yang lalu tidak terulang ya.." ucap Miki setengah berbisik, tetapi aku masih bisa mndengarnya. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku. Enam bulan yang lalu? Musim semi? Aku tak mengerti.

"Apa maksudmu?" Nana semakin penasaran dengan kalimat Miki.

"A..ada murid baru, Na. Dan dia pindahan dari kota yang sama dengan So..ss..sora .." ucap Miki ketakutan, wajahnya berkeringat. Aku mendengar nama Sora disebut, maksudnya apa? Mengapa mereka tak mau menceritakannya?

"APA??" Nana tersentak, aku yakin ini bukan suatu kabar baik. Namun, aku tak mau mencurigai Tuhan atau takdir-Nya. Aku lelah dengan semua ini, "apa kelak aku dapat berbahagia?" pertanyaan itu muncul di keningku setiap mengingat Sora.

"Ada apa, Miki?" tanya ku hati-hati.

"Everything is gonna be okay" senyum indah Miki membuatku tenang, tetapi rasa penasaran ini membakar dada ku. Aku membalas senyum Miki, bel tanda masuk sekolah pun berbunyi. Jantung ku berdegub kencang, entah ini pertanda baik atau buruk, kali ini aku percaya pada kata-kata Miki, "Everything is gonna be okay." aku harap begitu. Aku menarik nafas sekuat tenaga dan menghembuskan perlahan, aku berusaha menenangkan diri, Miki dan Nana melirik ke belakang dengan tatapan cemas. Aku tersenyum menandakan bahwa aku baik-baik saja.

Aku yakin Miki menyimpan rahasia murid baru ini karena mengkhawatirkanku, Nana yang biasanya selalu melontarkan pertanyaan selayaknya reporter pun terdiam. "Demi apa pun, aku tidak ingin kalian seperti ini. Aku sayang kalian, tolong jangan tahan diri kalian demi aku." kata ku dalam hati.

"Wah ada murid baru yah? Seperti tahun lalu ya? Sayangnya dia meninggal, padahal baru satu hari bersekolah. Semoga tidak terulang kembali ya." bisik teman-teman ku membuat dada ku tersayat-sayat.


"Sudah ah, tidak usah dibahas. Aku takut." sahut Nana, seakan-akan ia tak mau aku mendengar percakapan itu.

"Eh itu diaa, kakkoi.. Keren banget!" seruan anak laki-laki di kelasku terdengar jelas dan lantang. Ini seperti de javu, aku yakin sekali.

“Anak-anak, diam! Akira Shigure, silahkan kenalkan dirimu." jawab sensei Hiruma Nakamori. Kebetulan Nakamori sensei menjadi wali kelasku lagi, ini benar-benar de javu.

“Nama saya Akira Shigure, saya dari Tokyo. Saya pindah kesini, karena orang tua saya pindah kerja ke kyushu, saya sekarang tinggal bersama bibi dan paman saya. Saya rasa cukup, arigatou.."

"ka..ka..a..kalimat itu." aku tersentak, seluruh kelas menengok ke arahku.

"Ada apa Ishikawa-san?" tanya Nakamori sensei.

"Daijoubu desu."

"ucapannya, caranya bicara, semuanya s.a..sa..sama"  batinku.

"Kamu siapa?" mendengar Nana bertanya seperti itu, aku yakin Nana menyadari bahwa Akira Shigure mengatakan hal yang sama dengan Sora.

"Natsuoka-san, cukup. Simpan pertanyaanmu untuk jam istirahat. Haruki-san kau duduk disamping Chiaki Ishikawa. Ishikawa-san, tolong bantu Haruki-san dalam beradaptasi.” ucap sensei.

"u..u...ucapan sensei sama seperti enam bulan yang lalu."  pikirku. Sungguh, aku yakin, aku mengingat semua kejadian tentang Sora. Aku yakin. "Bagaimana mungkin aku lupa? kejadian itu hanya berlangsung satu hari" pikiranku melantur kemana-mana.

"Ishikawa-san? Kau baik-baik saja?" tanya dengan nada keheranan, lamunanku buyar dalam sekejap.

"Ha..hai, wakarimasu." aku berdiri lalu mengangguk.

"Eeh? Tunggu dulu, tapi kan pertanyaanku belum dijawab." eyel Nana.

"Sudah, sudah. Sensei harus pergi, karena ada rapat kedinasan, jadi kalian kerjakan halaman 50. Jangan berisik! Jangan ada yang keluar kelas, okay?" jelas sensei.

"Baik sensei!!" jawab kami serentak sambil menyembunyikan senyum dan rasa kegembiraan kami. Kali ini aku merasakan kejanggalan yang luar biasa, "ini cuma kebetulan kan?"  batinku ragu.

Sensei pun keluar kelas, saat sensei menutup pintu kelas, spontanitas seluruh murid di kelas berteriak,
"YATTA!! BANZAI BANZAI BANZAIIII!!" sensei hanya bisa mengelus dada dan tersenyum tipis.

Akira Shigure mendekatiku dan berkata sambil memberi hormat (read: membungkuk),
"Ishikawa-san, hajimemashite watashi wa Akira Shigure desu. Yoroshiku onegai shimasu. Mohon bantuannya"

"Demi Tuhan, siapa kau?" Aku berdiri dan membalas hormatnya, aku tak memberikan sepatah katapun, karena aku bingung mau ngomong apa. Tersenyumpun tidak. Lalu dia duduk di sebelahku.

Aku tidak menawarkan buku catatanku seperti yang aku lakukan pada Sora, aku takut. "Tulisan Akira Shigure sama bagusnya dengan Sora. TIDAK! Mereka berbeda. Chiaki! Jangan samakan dia dengan Sora. Kau bahkan belum mengenalnya."  jengkelku pada diri sendiri. Dia terlihat keheranan, "astaga, ekspresi itu. Sungguh, aku bisa gila.."

“Ada apa Ishikawa-san?” tanyanya ragu-ragu.

“Lupakan.” Jawabku acuh.

“Emm, boleh aku memanggilmu Chiaki-san?.”

“Ya, terserah kau.”

“Kalau begitu kau panggil aku Akira, okay?”

Aku tak menjawab. Semua sama, ini de javu.

"Kau siapa?" tanya Nana tiba-tiba, kali ini ia terlihat kesal. Nana tidak mengajukan pertanyaan layaknya reporter seperti setengah tahun yang lalu.
"Apa hubunganmu dengan SORA?" pertanyaan Nana ini seperti membaca pikiranku. Ia mengajukan pertanyaan seperti mengintrogasi penjahat.

“Hei, hei, hentikan itu Nana-chan, itu akan mengganggu ketenangannya.” Ucap Miki.

Bell istirahat pun berbunyi, aku merasa terselamatkan.

"Urusan kita belum selesai, Shigure-kun!" tantang Nana.

"Nande?" Akira Shigure kebingungan.

Jelas sekali, wajah mereka berbeda. Mengapa sekumpulan kenangan itu menghantuiku lagi? Disaat aku sudah merelakan dan mensyukuri semua yang hilang di Musim Semi lalu, kini semuanya kembali.. Entah aku harus bersikap bagaimana, senang atau sedih? Semua kenangan itu tak mudah kulupakan, tetapi kembali dengan mudahnya. Mungkin, aku harus lebih berhati-hati. Sungguh, aku tidak siap untuk jatuh cinta ataupun terluka lagi.

Aku memutuskan untuk tidak mengajaknya berbicara, karena aku yakin mereka memiliki aksen yang sama. Meskipun Sora berasal dari kota Tokyo, aksen Sora, caranya berbicara. Semua terlihat berbeda dari kebanyakan orang kota lainnya. Dan dia, Akira mempunyai itu semua.

No comments:

Post a Comment